Jumat, 29 November 2013

ETIKA PROFESI DAN KODE ETIK KORPORASI

ETIKA PROFESI DAN KODE ETIK KORPORASI
1.    Pengertian Profesi, Profesional, dan Profesionalisme
Kata atau istilah profesi, profesional, dan profesionalisme sangat sering kita dengar dan temukan dewasa ini, bahkan sering tanpa memahami pengertian yang sebenarnya. Kata profesional dan profesionalisme menjadi istilah kunci kehidupan modern, khususnya bisnis. Istilah profesi, profesional, dan profesionalisme  sering saling dipertukarkan jika para akuntan mendiskusikan istilah tersebut. [1] Untuk memeroleh pemahaman yang lebih tepat, berikut ini akan dikemukakan pengertian istilah-istilah tersebut dan kemudian akan dikemukakan pengertian etika profesi dan kode etik perusahaan atau korporasi.
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan kompetensi yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Dengan demikian, orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan atau kompetensi yang tinggi serta mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya.  Orang profesional lazimnya adalah orang yang dapat dipercayai masyarakat untuk melakukan pekerjaan yang menjadi profesinya.
Sebagaimana terungkap dalam pengertian profesi di atas, orang yang profesional selalu mengerjakan pekerjaannya sebagai pekerjaan purna waktu  dan hidup dari pekerjaannya itu. Ini berarti, orang tersebut harus memeroleh imbalan yang memadai atas pekerjaan yang dilakukannya yang memungkinkannya untuk hidup secara layak sebagai manusia. Singkatnya, hanya dengan imbalan yang memadai ia mempunyai komitmen pribadi yang mendalam dan bertanggung jawab penuh atas pekerjaannya  atas pihak-pihak yang menjadi fokus pelayanan profesinya. Jadi, orang-orang yang profesional adalah orang-orang yang diandalkan dan dipercaya karena mereka ahli, terampil, punya komitmen moral dan integritas pribadi, bertanggung jawab, penuh disiplin, dan serius dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Akhirnya, istilah profesional hampir identik dengan kualitas, komitmen, tanggung jawab, dan bayaran yang tinggi. Sedangkan,  “profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. [2]
Pendapat lain mendefinisikan istilah profesi dan profesionalisme sebagai berikut: A profession is an occupation, vocation or career where specialized knowledge of a subject, field, or science is applied. It is usually applied to occupations that involve prolonged academic training and a formal qualification. It is axiomatic that "professional activity involves systematic knowledge and proficiency." Professions are usually regulated by professioanl bodies  that may set examinations of competence, act as a licensing authority for practitioners, and enforce adherence to ethical code of practice. Professionalism, is about individual modes of behaviour that command respect and build trust. It is about excellence in service as measured by recognised standards. It is about delivering services or working to standards that meet the needs of and are expected by our clients. (http://www.managementaccountant.in/2008/06/profession-versus-professionalism.html)

2.    Ciri-ciri Profesi
Berikut ini merupakan ciri-ciri profesi, yang sekaligus dimiliki oleh orang-orang yang profesional, yaitu:
1)    Adanya keahlian dan kompetensi  khusus
Keahlian dan kompetensi ini biasanya diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan pengalaman selama bertahun-tahun. Istilah kompetensi biasanya mencakup knowledge, skill, dan experience.
2)    Adanya komitmen moral yang tinggi
Komitmen moral ini biasanya dinyatakan dalam bentuk aturan atau norma khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan ini berlaku sebagai semacam kaidah moral yang khusus bagi orang-orang yang mempunyai profesi tersebut. Ia merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasanya disebut Kode Etik atau Aturan Perilaku (Code of Ethics or Code of Conduct), misalnya kode etik kedokteran, kode etik wartawan, dan kode etik profesi akuntan publik.
Kode etik ini seharusnya ditaati oleh setiap orang yang mempunyai profesi tersebut. Kode etik lazimnya berisi tuntutan keahlian, komitmen moral, dan perilaku yang diinginkan dari orang-orang yang melakukan profesi tersebut. Kode etik ini menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan suatu profesi.[3]
Ada dua tujuan dari kode etik ini. Pertama, kode etik bertujuan melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kalalaian apakah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum profesional. Kode etik menjamin bahwa masyarakat yang telah memercayakan diri hidup, barang milik, atau perkaranya kepada orang yang profesional tidak akan dirugikan oleh orang yang profesional itu. Kedua, kode etik juga bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku dan tindakan yang tidak benar dari perilaku profesi tersebut.
Yang menarik adalah kode etik menjembatani etika dan moralitas di satu pihak dan hukum di pihak lainnya atau dapat dikatakan kode etik terletak antara norma moral dan hukum. Di satu pihak, kode etik mempunyai kaidah atau norma moral yang berlaku khusus untuk orang-orang profesional di bidang tersebut.  Namun berbeda dengan norma moral pada umumnya, norma moral ini tidak lagi muncul dalam bentuk imbauan tidak tertulis, melainkan telah dikodifikasi menjadi aturan tertulis. Walaupun merupakan norma moral, sebagai kode etik, aturan tersebut dilengkapi dan didukung oleh sanksi yang memungkinkan berlakunya norma moral jauh lebih pasti sebagaimana dalam hukum positif. Demikian pula kode etik menjadi pedoman yang konkrit (dapat dirujuk berdasarkan nomor urut kode etik), karena tertulis sehingga dapat menjadi aturan yang nyata. Oleh karena itu, dalam pengertian ini, kode etik lebih bersifat tegas dan pasti dibandingkan dengan norma moral pada umumnya, walupun tetap memiliki hakekat sebagai norma moral.
3)    Orang yang profesional adalah orang yang hidup dari profesi
Pertama, ini berarti ia hidup sepenuhnya dari profesi ini. Biasanya ia dibayar dengan gaji yang tinggi sebagai konsekuensi dari pengerahan seluruh tenaga, pikiran, keahlian, dan keterampilan. Kedua, ini berarti profesinya telah membentuk identitas orang tersebut. Ia tidak bisa lagi dipisahkan dari profesinya itu.
4)    Pengabdian kepada masyarakat
Adanya komitmen moral yang tertuang dalam kode etik profesi ataupun sumpah jabatan menyiratkan bahwa orang-orang yang mengemban profesi tertentu lebih mendahulukan dan mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadinya.
5)    Terdapat ijin khusus untuk menjalankan profesi
Ijin merupakan bentuk perlindungan awal atas kepentingan masyarakat dan mencegah agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh profesi tertentu. Ijin juga sesungguhnya merupakan tanda bahwa orang tersebut mempunyai keahlian, kompetensi, dan komitmen moral yang diandalkan dan dapat dipercaya.
6)    Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi
Tujuan organisasi profesi ini terutama adalah untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi tersebut. Tujuan pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan kompetensi tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, dan berarti menjaga agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota mana pun. [4]
Pendapat lain menyatakan suatu profesi dicirikan dengan empat unsur yang penting:
·      A specialized body of knowledge taught in a formal and certifiable manner.
·      A commitment to social purposes (good ones) that justify the profession’s existence.
·      The capacity to regulate itself, often with sanction of the law for those who violate acceptable norms of behavior.
·      Status and prestige of above-average ranking in society.

3.    Prinsip-prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Empat prinsip etika profesi yang berlaku umum untuk semua profesi pada umumnya.
Prinsip pertama adalah  prinsip tanggung jawab.  Tanggung jawab adalah salah satu prinsip pokok bagi kaum profesional. Pertama,  bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Dengan kata lain, ia sendiri dapat mempertanggung jawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun juga terhadap diri sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya.
Prinsip kedua adalah prinsip keadilan.  Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Prinsip ini juga menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun, termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesinya. Prinsip “siapa yang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan konkrit dari prinsip keadilan dalam arti seluas-luasnya.
Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi.  Prinsip ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kaum profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Hanya prinsip otonomi juga mempunyai batas-batasnya, yaitu prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atau kemajuan profesi tersebut serta dampaknya terhadap kepentingan masyarakat. Otonomi juga dibatasi bahwa walaupun pemerintah menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga dan pada waktunya malah ikut campur tangan agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum.
Prinsip keempat adalah prinsip integritas moral.  Orang yang profesional adalah orang yang mempunyai integritas pribadi atau moral yang tinggi. Oleh karena itu, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk melakukan tindakan yang melanggar nilai yang dijunjung tinggi oleh profesinya. Di samping itu, ia akan malu kalau bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai moral khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkannya profesinya.[5]

4.    Kode Etik Korporasi
Sejak disadarinya pentingnya aktivitas bisnis dilakukan dengan bermoral, maka banyak perusahaan maupun organisasi menyusun kode etik organisasi atau korporasi (Corporate Code of Conduct, Code of
Ethics or Organization’s Code of Ethical Conduct). Aturan-aturan disusun untuk membantu semua pegawai dan anggota organisasi untuk berperilaku yang bermoral dengan menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip moral seharusnya diterapkan dalam kerja atau memberikan pedoman yang lebih spesifik atau perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang (permitted and prohibited behavior).
Manfaat dari kode etik korporasi adalah sebagai berikut:
1)    Untuk mendorong banyak orang dalam organisasi untuk berpikir, mendiskusikan visi, misi mereka dan tanggung jawab yang penting sebagai kelompok dan individu terhadap perusahaan, pihak-pihak lain dalam perusahaan, dan terhadap stakeholders lainnya.
2)    Suatu kode etik yang telah disusun dapat digunakan untuk menghasilkan diskusi yang positif bagi penyempurnaan dan kemungkinan untuk modifikasi.
3)    Dapat membantu karyawan baru dalam rangka penyesuaian diri, menanamkan perlunya berpikir atas aspek-aspek moral dalam tindakan mereka, serta menanamkan pentingnya mengembangkan sifat-sifat luhur yang sesuai dengan posisi mereka dalam organisasi.
4)    Digunakan sebagai dokumen untuk referensi bila mereka meragukan tindakan atau perintah yang harus dilakukannya.
5)    Digunakan untuk meyakinkan pihak luar atas fakta bahwa perusahaan berpegang pada prinsip-prinsip moral, dan memberikan mereka kriteria untuk mengukur tindakan perusahaan.

5.    Aspek-aspek atau Unsur-unsur Kode Etik Korporasi
Aspek-aspek atau unsur-unsur penting dalam etika perusahaan atau korporasi yang diatur dalam kode etik adalah sebagai berikut:
1)    Perilaku Dewan Direksi, Komisaris, dan Karyawan:
·      suap, hadiah, dan komisi;
·      entertainment;
·      penyalahgunaan informasi;
·      konflik kepentingan;
·      kecurangan penggunaan aset dan sumber daya korporasi;
·      utang/pinjaman; dan
·      perilaku individu, termasuk pekerjaannya di luar korporasi.

2)    Hubungan dengan supplier dan kontraktor
·      kompetisi yang adil dan terbuka;
·      pemenuhan kepentingan umum dan akuntabiitas;
·      prosedur lelang dan tender;
·      praktik suap dan KKN; dan
·      prosedur pembayaran.

3)    Tanggung jawab kepada pemilik/pemegang saham
·      perkembangan yang berkelanjutan;
·      jujur dan transparan dalam informasi;
·      prosedur dan kebijakan akuntansi yang benar dan adil; dan
·      insider trading.

4)    Hubungan dengan pelanggan dan konsumen
·      pelayanan;
·      produk yang berkualitas dan harga yang wajar;
·      keamanan, kesehatan dan kejelasan dalam penggunaan instruksi; dan
·      kebijakan produk dan harga.

5)    Hubungan dengan karyawan
·      jaminan keamanan dan kesehatan;
·      kesempatan kerja yang sama;
·      kebebasan berkreasi bagi individu dan hak pribadi;
·      komunikasi;
·      pengembangan dan remunerasi; dan
·      kebijakan berkaitan dengan rokok, narkoba, dan obat terlarang.

6)    Tanggung jawab sosial
·      kebijakan lingkungan;
·      partisipasi dalam komunitas;
·      kebijakan dan praktik pemberian sumbangan;
·      kegiatan politik; dan
·      pelanggaran dan sanksi atas code of conduct serta rehabilitasi bagi yang dikenakan sanksi.

Pendapat lain (AICPA, “CPA’s Handbook of Fraud and Commercial Crime Prevention.”) menyatakan bahwa unsur-unsur pokok dari sebuah code of conduct yang efektif sebagai berikut:
1)        Organizational Code of Conduct
The organization and employee must at all times comply with applicable laws and regulations, with all business conduct well above the minimum standards required by law.

2)         General Employee Conduct
The organization expects its employee to conduct themselves in a business like manner and prohibits unprofessional activities, such as drinking, fighting, and swearing, while on the job.

3)         Conflict of Interest
The organization expects that employees will perform their duties conscientiously, honestly, and in accordance with best interests of the organization and will not use their positions or knowledge gained for private or personal advantage.

4)         Outside Activities, Employment, and Directorships
All employees share a responsibility for the organization’s good public relations. Employees should avoid activities outside the organization that create an excessive demand on their times or create a conflict of interest.

5)         Relationships with Clients and Suppliers
Employees should avoid investing in or acquiring a financial interest in any business organization that has contractual relationships with the organization.

6)         Gifts, entertainment, and Favors
Employees must not accept entertainment, gifts, or personal favors that could influence or appear to influence business decisions in favor of any person with whom the organization has business dealings.

7)         Kickbacks and Secret Commissions
Employees may not receive payment or compensation of any kind, except as authorized under organizational remuneration policies.

8)         Organization Funds, and Other Assets
Employees who have access to organization fund must follow prescribed for recording, handling, and protecting money.

9)         Organization Records and Communications
Employees responsible for accounting and record keeping must not make or engage in any false record or communication of any kind, whether external or internal.

10)      Dealings with Outside People and Organizations
Employees must take care to separate their personal roles from their organizational positions when communicating on matters not involving the organization’s business.

11)      Prompts Communications
All employees must take every effort to achieve complete, accurate, and timely communication all matters relevant to customers, suppliers, government authorities, the public, and others within the organization.

12)      Privacy and Confidentiality
When handling financial and personal information about customers and others with whom the organization has dealings, employees should collect, use, and retain only the information necessary for the organization’s business, internal access to information should be limited to those with legitimate business reason for seeking that information.



[1] Professionalism in accounting involves adhering to national and international accounting standards, such as Generally Accepted Accounting Principles, or GAAP, in the United States and standards set by the International Accounting Standards Board, or IASB. Ethical business practices are an inseparable component of professionalism in accounting.
[2] Sikap profesionalisme auditor independen terwujud dalam kompetensi, independensi dan integritasnya. Gambaran tentang profesionalisme seorang auditor tercermin dalam lima hal yaitu: pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, kepercayaan terhadap peraturan profesi, dan hubungan dengan rekan seprofesi.
[3] As an accountant you have the commitment to each customer to demonstrate competence, confidentiality, integrity, and credibility. Accountants are known and respected for their honesty; by showing their integrity and competence.  This is why it is important for all accountants and their firms to show and practice a good ethical practice. The primary ethical principles that apply to accountants are integrity, objectivity, independence, and competence
[4] A professional body or professional organization, also known as a professional association or professional society, is an organization, usually non-profit, that exists to further a particular profession, to protect both the public interest and the interests of professionals. 
[5] Prinsip dasar etika profesi akuntan publik adalah prinsip integritas, prinsip objektivitas, prinsip kompetensi serta kecermatan dan kehati-hatian profesional, prinsip kerahasian, dan prinsip perilaku profesional (Kode Etik Profesi Akuntan Publik, IAPI-Dewan Standar Profesional Akuntan Publik).
 
Sumber: Monang Situmorang, MM. SE, Bahan Ajaran Etika Bisnis dan Profesi, Universitas Pakuan 

TEORI KEADILAN

TEORI KEADILAN
1.    Pendahuluan
Pendekatan deontologi yang lain didasarkan pada keadilan moral. Pertentangan antarindividu dalam bisnis sering dikaitkan dengan masalah keadilan atau kewajaran (justice or fairness). Hal ini terjadi, misalnya, saat seseorang menuduh orang lain melakukan diskriminasi terhadapnya, menunjukkan sikap berat sebelah (unjust favoritism), atau tidak memperoleh bagian yang wajar dari beban yang ditanggungnya dalam suatu perjanjian kerja sama. Penyelesaian masalah seperti ini kerap kali mengharuskan kita membandingkan dan menimbang klaim-klaim yang saling bertentangan dari masing-masing pihak serta mencari keseimbangannya. Keadilan dan kewajaran pada dasarnya bersifat komparatif. Keduanya berkaitan dengan perlakuan komparatif yang diberikan pada anggota suatu kelompok tertentu saat dilakukan pendistribusian manfaat dan beban (benefit and burden), saat peraturan-peraturan diberlakukan, saat anggota satu kelompok bekerja sama atau bersaing satu sama lain, dan saat orang-orang dihukum karena telah melakukan kesalahan atau memperoleh kompensasi atas kesalahan yang membuat mereka menderita.
Standar keadilan secara umum dianggap lebih penting dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan utilitarian. Jika suatu kelompok masyarakat bersikap tidak adil pada beberapa anggotanya, maka kita biasanya mengecam masyarakat tersebut sekalipun ketidakadilan itu memberikan keuntungan-keuntungan utilitarian yang lebih besar bagi semua orang.

2.    Tipe-tipe Keadilan
Masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan kewajaran dapat dibagi dalam tiga kategori: (1) Keadilan distributif (distributive justice), berkaitan dengan distribusi yang wajar atas manfaat dan beban dalam masyarakat, (2) Keadilan retributif (retributive justice), mengacu pada pemberlakuan hukuman yang adil pada pihak-pihak yang melakukan kesalahan, dan (3) Keadilan kompensatif (compensative justice), berkaitan dengan cara yang adil dalam memberikan kompensasi pada seseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain.
1)    Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif adalah bahwa yang sederajat/sama (equal) haruslah diperlakukan secara sederajat dan yang tidak sama juga diperlakukan dengan cara yang tidak sama. Lebih tepatnya, prinsip dasar dari keadilan distributif adalah:
Individu-individu yang sederajat/sama dalam segala yang berkaitan dengan perlakuan yang dibicarakan haruslah memperoleh manfaat dan beban sama, sekalipun mereka tidak sama dalam aspek-aspek yang tidak relevan lainnya; dan individu-individu yang tidak sama dalam suatu aspek yang relevan perlu diperlakukan secara tidak sama, sesuai dengan ketidaksamaan mereka.
Sebagai contoh, jika Susan dan Bill melakukan pekerjaan yang sama dan tidak ada perbedaan relevan antara keduanya atau dalam pekerjaan yang mereka lakukan, maka mereka juga harus memperoleh gaji yang sama. Namun demikian, jika jam kerja Susan dua kali lebih lama dari Bill dan jika jam kerja merupakan dasar yang relevan untuk menentukan gaji mereka, maka Susan harus memperoleh gaji dua kali lipat.
Berikut akan diuraikan berbagai sudut pandang mengenai prinsip-prinsip distributif (keadilan distributif) selain prinsip dasar atau fundamanetal di atas, yaitu:
a.    Keadilan sebagai Kesamaan (Equality) : Egalitarian
 Kaum egalitarian meyakini bahwa tidak ada perbedaan yang relevan di antara semua orang yang bisa dipakai sebagai pembenaran atas perlakuan yang tidak adil. Menurut pandangan egalitarian, semua manfaat dan beban haruslah didistribusikan menurut rumusan berikut: 
Semua orang harus memperoleh manfaat dan beban masyarakat atau kelompok dalam jumlah yang sama.
b.    Keadilan Berdasarkan Kontribusi :  Keadilan Kapitalis
 Menurut pandangan keadilan kapitalis, saat orang-orang terlibat dalam pertukaran ekonomi, apa yang diperoleh seseorang dari pertukaran ini setidaknya haruslah sama nilainya dengan yang dia kontribusikan atau sumbangkan. Jadi, keadilan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh seseorang haruslah proporsional dengan nilai kontribusi/sumbangan yang diberikannya. Pendek kata:
Manfaat haruslah didistribusikan sesuai dengan nilai sumbangan individu yang diberikan pada masyarakat, tugas, kelompok, atau pertukaran.
Prinsip kontribusi atau sumbangan ini merupakan prinsip kewajaran yang paling banyak digunakan dalam menentukan gaji dan upah di perusahaan-perusahaan Amerika. Para pekerja  di negara-negara yang dikarakteristikkan memiliki budaya yang lebih individualistik, seperti Amerika, lebih memilih prinsip kontribusi ini dibandingkan para pekerja di negara-negara budaya kolektivitas, seperti Jepang. Masalah utama dari prinsip kontribusi keadilan distributif ini adalah bagaimana “menilai kontibusi” (“value of the contribution”) masing-masing individu. Salah satu cara adalah dengan menilainya menurut jumlah usaha (work effort). Semakin besar usaha yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, maka semakin besar pula bagian manfaat yang berhak diperolehnya. Semakin keras kerja seseorang, semakin banyak yang berhak dia dapatkan. Ini adalah asumsi dibalik Etika puritan (Puritan ethic), yang menyatakan bahwa semua individu memiliki kewajiban religius untuk bekerja keras sesuai dengan panggilannya (sesuai dengan karier yang diberikan Tuhan pada mereka) dan bahwa orang-orang yang bekerja keras, oleh Tuhan akan dianugerahi kekayaan dan kesuksesan, dan Dia akan menghukum orang-orang yang malas dengan kemiskinan dan kegagalan. Di Amerika, etika puritan ini telah berkembang menjadi etika kerja (work ethic) sekuler, yang menempatkan nilai tinggi pada usaha individu dan mengasumsikan bahwa kerja keras akan memberikan keberhasilan dan kemalasan akan mendapatkan hukuman.
c.     Keadailan Berdasarkan Kebutuhan dan Kemampuan : Sosialisme
Menurut pandangan ini (Louis Blanc, Karl Marx, dan Nikolai Lenin) dari semua orang sesuai dengan kemampuan (abilities) mereka, bagi semua orang sesuai dengan kebutuhannya (needs) . Dengan kata lain dinyatakan bahwa:
Beban kerja haruslah didistribusikan sesuai dengan kemampuan orang-orang, dan manfaat harus didistribusikan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Hal yang paling fundamental dalam pandangan sosialis ini adalah adanya gagasan bahwa tatanan masyarakat haruslah dalam bentuk komunitas di mana manfaat dan beban didistribusikan dengan menggunakan model keluarga. Seperti halnya para anggota keluarga yang mampu (able family members) harus bersedia membantu keluarga, dan anggota keluarga yang tidak mampu (needy family members) dibantu oleh keluarga, maka demikian juga anggota masyarakat wajib menyumbangkan kemampuan mereka pada masyarakat dengan menerima beban yang lebih besar sementara yang tidak mampu tetap memperoleh bagian dari manfaat masyarakat.
d.    Keadilan Sebagai Kebebasan : Libertarianisme
Menurut pandangan libertarian (Robert Nozick), mengatakan:
Dari setiap orang sesuai dengan apa yang dipilih untuk dilakukan, bagi setiap orang sesuai dengan apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri (mungkin dengan bantuan orang lain), dan apa yang dipilih orang lain untuk dilakukan baginya dan mereka pilih untuk diberikan padanya atau apa yang telah mereka berikan sebelumnya dan belum diperbanyak atau dialihkan.
 Jelasnya, “Dari setiap orang sesuai dengan apa yang mereka pilih, bagi orang sesuai dengan apa yang dipilihkan bagi mereka”. Prinsip ini didasarkan pada klaim bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan paksaan yang dalam hal ini lebih diprioritaskan dari hak-hak dan nilai lain. Satu-satunya distribusi yang adil adalah distribusi yang dihasilkan dari pilihan individu. Dengan demikian, semua bentuk distribusi yang dihasilkan dari usaha untuk menerapkan suatu pola tertentu pada masyarakat (misalnya yang mengutamakan kesetaraan dengan mengambil dari yang kaya dan memberikannya pada yang miskin) adalah tidak adil.
e.    Keadilan Sebagai Kewajaran : Rawls
Teori ini (John Rawls), merupakan sebuah pendekatan pada keadilan distributif yang mendekati teori komprehensif, yang didasarkan pada asumsi bahwa konflik yang melibatkan masalah keadilan pertama-tama haruslah ditangani dengan membuat sebuah metode yang tepat dalam memilih prinsip-prinsip untuk menanganinya. Setelah metode ini dibuat, prinsip-prinsip yang dipilih dengan menggunakan metode itu haruslah mampu berperan sebagai prinsip keadilan distributif. Rawls mengusulkan dua prinsip dasar yang perlu dipilih jika ingin memperoleh metode yang tepat guna memilih prinsip untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial. Prinsip keadilan distributif yang diusulkan menyatakan bahwa distribusi manfaat dan beban suatu masyarakat adalah adil jika, dan hanya jika:
1)         Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar paling ekstensif yang dalam hal ini mirip dengan kebebasan untuk semua orang, dan
2)         Ketidakadilan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
a.    mampu memberikan manfaat terbesar bagi orang yang kurang beruntung, dan
b.    ditangani dalam lembaga dan jabatan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip persamaan hak dalam memperoleh kesempatan.
Prinsip 1 harus lebih diprioritaskan dari prinsip 2 apabila keduanya berkonflik, dan dalam prinsip 2, bagian b harus lebih diprioritaskan dari bagian a. Prinsip 1 disebut prinsip kebebasan sederajat (principle of equal liberty). Prinsip ini mengatakan bahwa kebebasan setiap warga negara haruslah dilindungi dari gangguan orang lain dan haruslah sederajat antara yang satu dengan yang lain. Bagian a dari prinsip 2 disebut prinsip perbedaan (difference principle). Prinsip ini mengasumsikan bahwa sebuah masyarakat yang produktif memang harus memasukkan sejumlah ketidaksamaan, namun selanjutnya ditegaskan bahwa kita perlu mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki posisi kelompok paling lemah dalam masyarakat, seperti orang sakit dan cacat, keadaannya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Bagian b dari prinsip 2 disebut prinsip kesamaan hak dalam memperoleh kesempatan (principle of fair equality of opportunity). Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang haruslah memiliki hak yang sama dalam memperoleh jabatan-jabatan dalam berbagai lembaga masyarakat.
Dengan demikian, sebuah prinsip secara moral dapat dikatakan sebagai prinsip keadilan yang secara moral benar jika, dan hanya jika, prinsip tersebut dapat diterima oleh suatu kelompok individu rasional yang mengatahui bahwa mereka akan tinggal dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip yang mereka terima, namun tidak tahu apa jenis kelamin, ras, kemampuan, agama, kepentingan, jabatan sosial, penghasilan, atau karakteristik-karakteristik khusus lain yang akan mereka miliki dalam masyarakat tersebut.

2)    Keadilan Retributif
Keadilan retributif berkaitan dengan keadilan dalam menyalahkan atau menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan. Terdapat kondisi-kondisi yang dianggap adil untuk menghukum seseorang yang telah berbuat kesalahan.
Kondisi dari hukuman yang adil adalah: (1) Seseorang dianggap tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas apa yang dia lakukan karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan (ignorance and inability). Contohnya, jika pemilik pabrik pengolahan kapas tidak tahu bahwa keadaan di pabriknya bisa menyebabkan para pekerja terkena penyakit paru-paru, maka tidak adil bila kita menghukumnya karena pabrik miliknya menyebabkan penyakit tersebut,  (2) Kepastian bahwa orang yang dihukum benar-benar melakukan apa yang dituduhkan. Contohnya, menghukum pegawai dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang tidak akurat dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak adil, dan (3) Hukuman tersebut haruslah konsisten dan proporsional dengan kesalahannya. Contohnya, adalah tidak adil bila seorang manajer memberikan hukumuan yang keras pada pelanggaran kecil atau memberikan hukuman ringan pada orang-orang tertentu dan hukuman lebih berat pada yang lainnya. 

3)    Keadilan Kompensatif
Keadilan kompensatif berkaitan dengan keadilan dalam memperbaiki kerugian yang dialami seseorang akibat perbuatan orang lain. Saat seseorang melakukan tindakan yang merugikan kepentingan orang lain, maka pelakunya memiliki kewajiban moral untuk memberikan semacam ganti rugi pada korbannya. Contohnya, jika saya merusak properti orang lain atau melukainya, maka saya secara moral bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi kepadanya.
Seseorang memiliki kewajiban moral untuk memberikan kompensasi pada pihak yang dirugikan jika tiga syarat berikut dipenuhi: (1) Tindakan yang mengakibatkan kerugian adalah kesalahan atau kelalaian, (2) Tindakan tersebut merupakan penyebab kerugian sesungguhnya, dan (3) Pelaku mengakibatkan kerugian secara sengajaeseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain.

Sumber: Monang Situmorang, MM. SE, Bahan Ajaran Etika Bisnis dan Profesi, Universitas Pakuan