Kamis, 06 Juni 2013

KEPASTIAN HUKUM PEMUNGUTAN PPN ATAS BELANJA NEGARA



Kepastian Hukum Pemungutan PPN Atas Belanja Negara

Oleh Asep Rosyidin Kanny, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam kegiatan sehari-harinya, satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang diakibatkan dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional.
Dari kegiatan belanja barang dan atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis aturan yang harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan negara yang salah satu berasal dari Pajak Pertambahan Nilai. Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 diatur bahwa Bendaharawan Pemerintah ditetapkan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. Pada pasal 4 ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Keuangan ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dari aturan ini jelas terlihat bahwa setiap pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah wajib dipungut PPN. Namun jangan dilupakan, di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini PPN dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah sehingga rekanan non PKP tidak dapat dilakukan pemungutan PPN.
Dari sini timbul permasalahan, apakah untuk menjadi rekanan pemerintah khususnya untuk nilai pengadaan di atas Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah harus menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terlebih dahulu atau tidak? Untuk menjawab hal ini perlu kita kupas satu per satu konsekuensi alternatif jawaban dari pertanyaan diatas.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 70 tahun 2012 diatur bahwa peserta penyedia barang/jasa yang dapat mengikuti pelaksanaan pengadaan barang/jasa terdiri dari penyedia usaha kecil dan non kecil. Kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 68/PMK.03/2010 tentang batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai pada pasal 1 ayat (1) menyatakan Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dan pada pasal 2 dikatakan bahwa pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Dari uraian diatas, jika kita mewajibkan calon rekanan yang ingin mengikuti proses pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan pemerintah untuk menjadi PKP terlebih dahulu atau men-syaratkan di dalam dokumen pengadaannya bahwa calon penyedia harus telah dikukuhkan sebagai PKP meskipun omzetnya belum mewajibkan menjadi PKP maka kita akan melanggar salah satu prinsip pengadaan barang dan/ atau jasa yaitu prinsip adil / tidak diskriminatif. Sehingga jika calon rekanan tidak terima jika digagalkan menjadi penyedia dengan alasan belum menjadi PKP pada proses pengadaan, yang bersangkutan dapat mengajukan sanggah dan sanggah banding yang tentunya akan mengganggu jadwal pengadaan yang telah disusun rapi oleh Pejabat Pembuat Komitmen dan Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan.
Namun dalam proses berjalan, jika Panitia Pengadaan memilih penyedia yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan Pejabat Pembuat Komitmen beserta penyedia tersebut telah menanda tangani kontrak akan ada hambatan berikutnya. Setelah penyedia melaksanakan kewajiban nya sesuai yang tertera pada kontrak yang telah ditanda tangani sebelumnya, penyedia tersebut dapat mengajukan tagihan kepada negara berdasarkan bukti-bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran. Namun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal 40 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran adalah Faktur pajak beserta Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran. Sedangkan menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhiur diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak. Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur pajak, atau bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin membantu rekanan agar memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur pajak atas nama rekanan meskipun mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak main-main menunggu.
Di Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan dalam hal Faktur Pajak telah dibuat oleh orang pribadi atau badan yang belum dikukuhkan sebagai PKP, maka orang pribadi atau badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. Mungkin sanksi ini masih dapat diabaikan karena PPN yang terutang tadi sudah dipungut oleh bendaharawan. Namun ada sanksi lain di Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 39A yang mengancam penerbit faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan ancaman pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Tentunya melihat ancaman sanksi sedemikian rupa seharusnya membuat rekanan yang belum menjadi PKP tadi akan pikir-pikir jika akan membuat faktur pajak. Sehingga walaupun penyedia telah melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai dengan kontrak, penyedia tidak dapat dilakukan pembayaran karena yang bersangkutan bukan PKP yang dapat memberikan faktur pajak sesuai syarat pembayaran SPM LS sebagaimana diatur di dalam PMK-190/PMK.05/2012 di atas. Dan jika penyedia tetap tidak dapat dibayarkan, penyedia ujung-ujungnya dapat melakukan gugatan ke PTUN yang tentunya akan menguras waktu dan pikiran.
Dari kedua alternatif jawaban dari pertanyaan di atas ternyata sama-sama mengandung konsekuensi yang tidak mengenakkan baik bagi pihak Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan serta penyedia yang terlibat dalam pengadaan barang/ jasa akibat adanya ketidak pastian hukum di atas.
Pengalaman di lapangan, setiap rekanan maupun calon rekanan pemerintah secara informal diwajibkan untuk menjadi PKP. Namun saat ini ada program e-procurement yaitu proses pengadaan yang seluruh proses pemilihan calon penyedia nya dilaksanakan melalui media internet yang akhir-akhir ini digalakkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) yang dalam proses nya mengurangi tatap muka antara Unit Layanan Pengadaan atau panitia pengadaan dengan calon penyedia sehingga proses pemilihan penyedia diharapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya program ini, ada kemungkinan calon penyedia yang baru berdiri dan belum dikukuhkan sebagai PKP namun memenuhi syarat untuk mengikuti proses pengadaan barang / jasa sesuai kualifikasinya untuk mendaftar dan Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan tidak dapat menolak atau menggugurkan rekanan ini hanya karena yang bersangkutan belum dikukuhkan sebagai PKP.
Saran dari penulis adalah perlunya aturan yang dapat menutupi ketidak pastian hukum ini sehingga di dalam menjalankan tugas, masing-masing pihak tidak diliputi keragu-raguan dalam bertindak. Selain itu diperlukan adanya forum yang sinergi dan komunikasi yang intens antara LKPP selaku lembaga yang melakukan fungsi pengawasan dan perumusan kebijakan dalam proses pengadaan barang/ jasa yang berasal dari APBN maupun APBD, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Perbendaharaan selaku unit eselon I di Kementerian Keuangan yang masing-masing mengurusi masalah perpajakan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara untuk merumuskan aturan yang terbaik yang mengakomodasi semua pihak. Karena proses pengadaan barang/ jasa yang baik dan penerimaan negara yang optimal sama-sama memiliki arti penting bagi kemajuan bangsa ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber : www.dirjen pajak.co.id




MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK MELALUI PEMBENAHAN ADMINISTRASI PPN


Meningkatkan Kepatuhan Wajib Melalui Pembenahan Administrasi PPN

Oleh Asep Rosyidin Kanny, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada tahun 2012, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan kegiatan pembenahan sistem administrasi Pajak Pertambahan Nilai dengan menertibkan para Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah dikukuhkan. Dimulai dari registrasi ulang terhadap ribuan PKP yang tersebar di seluruh Indonesia hingga penataan kembali sistem penomoran dan pelaporan faktur pajak. Tentu bukan merupakan perkara mudah melaksanakan kegiatan ini, namun pegawai DJP dapat memenuhi tantangan itu dan hasil dari kegiatan ini akhirnya diperoleh Wajib Pajak yang tergolong PKP kategori “patuh” yang tetap dapat menjalankan mekanisme pengkreditan PPN melalui faktur pajak.
Kegiatan ini perlu mendapat apresiasi, karena dari sektor PPN ini seringkali menjadi celah timbulnya kebocoran penerimaan perpajakan yang sangat merugikan negara. Seringkali kita mendengar adanya kasus faktur pajak fiktif oleh pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan celah-celah di skema pengkreditan faktur pajak masukan dan pajak keluaran yang dianut oleh sistem pemungutan PPN di Indonesia. Sehingga diharapkan dengan kegiatan pembenahan ini, pemerintah dalam hal ini DJP dapat mengurangi potensi-potensi kebocoran dari sektor PPN dan dapat lebih memantau arus transaksi yang dilakukan oleh PKP yang dapat menambah potensi penerimaan pajak.
Dari kegiatan pembenahan sistem administrasi PPN ini khususnya kegiatan registrasi ulang PKP maupun kegiatan verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP, DJP sebenarnya dapat memanfaatkan untuk mendorong wajib pajak yang berstatus PKP maupun yang akan dikukuhkan sebagai PKP untuk lebih patuh dalam kewajiban perpajakan selain dari sektor PPN misalnya kewajiban untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh) maupun SPT PPh Tahunan serta kewajiban untuk pelunasan atas tunggakan pajak yang belum terbayar baik itu karena hasil penelitian kembali oleh wajib pajak maupun hasil verifikasi maupun pemeriksaan yang dilaksanakan oleh DJP.
Sebagaimana yang kita ketahui di dalam PER-05/PJ/2012 yang mengatur mengenai registrasi ulang PKP, DJP lebih menitik beratkan kategori tingkat kepatuhan di bidang PPN saja yaitu kepatuhan dalam penyampaian SPT Masa PPN. Sehingga atas PKP yang tergolong tidak “patuh” dalam penyampaian SPT Masa PPN akan dilakukan pencabutan status PKP sehingga tidak berhak lagi untuk menerbitkan dan meng-kreditkan Faktur Pajak. Namun jika PKP tersebut misalnya dalam hal ini masih “bolong-bolong” dalam menyampaikan laporan SPT Masa maupun Tahunan untuk jenis pajak selain PPN atau bahkan lebih ekstrim lagi Wajib Pajak sama sekali tidak menyampaikan laporan untuk jenis pajak selain PPN tapi atas laporan SPT Masa PPN nya sangat tertib, DJP tidak dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP.
Tentu hal ini sangat disayangkan, Wajib Pajak yang telah diberi kepercayaan yang sangat besar oleh negara dalam hal ini DJP yang telah mengukuhkan dirinya sebagai PKP yang memiliki hak dapat menerbitkan maupun mengkreditkan faktur pajak sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan namun kewajibannya terhadap negara dalam hal ini di bidang perpajakan belum sepenuhnya dilaksanakan.
Diharapkan ke depannya program pembenahan sistem administrasi PPN melalui registrasi ulang ini tetap dilaksanakan dengan menambah kategori tingkat kepatuhan bukan hanya kepatuhan di bidang PPN saja namun kepatuhan di seluruh kewajiban perpajakan. Sehingga wajib pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP menjadi pionir dalam tingkat kesadaran untuk patuh dalam menjalankan dan memenuhi kewajiban peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya di bidang perpajakan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber : www.dirjenpajak.co.id

MANISIK PAJAK PERUSAHAAN GLOBAL



MANISIK PAJAK PERUSAHAAN GLOBAL
Oleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Intensifikasi pajak dari perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu fokus Ditjen Pajak tahun ini. Jaringan perusahaan PMA yang di berbagai negara memungkinkan upaya penghindaran pajak. Khusus Uni Eropa, penghindaran pajak diperkirakan merugikan keuangan anggota Uni Eropa 1 triliun euro atau Rp 12.000 triliun di tahun 2012.
Pengalaman Inggris menggambarkan penghindaran pajak dilakukan dengan terstruktur. Akhir tahun 2012, badan pajak Inggris HMRC (HM Revenue and Customs) menisik pelaporan pajak 4 perusahaan global. Pertama, kasus franchisor kedai kopi asal Amerika Serikat (AS). Parlemen Inggris menyoroti laporan keuangan franchisor yang menyatakan rugi 112 juta pounds selama tahun 2008-2010 dan tidak membayar pajak PPh (pajak penghasilan) badan pada 2011. Dalam laporan ke investor, franchisor menyatakan omset selama 2008-2010, senilai 1,2 milyar pounds (Rp.18 trilyun).
Modus franchisor membuat laporan keuangan seolah rugi dengan tiga cara. Kesatu, membayar royalti offshore licensing atas desain, resep dan logo ke cabangnya di Belanda. Kedua, membayar bunga utang sangat tinggi, dimana hutang tersebut justru digunakan untuk ekspansi kedai kopi di negara lain. Ketiga, membeli bahan baku dari cabangnya di Swiss, walaupun pengiriman barang langsung dari negara produsen, dan tidak masuk ke Swiss. Kasus kedua, laporan pajak perusahaan internet search engine kakap berbasis di AS. Perusahaan ini meraih revenue di Inggris 398 juta pounds pada tahun 2011, tapi hanya membayar pajak 6 juta pounds. Keuntungan perusahaan cabang Inggris kemudian ditransfer ke cabang di Irlandia, Belanda dan berakhir di Bermuda.
Negara Bermuda adalah tax havens country yang tidak memungut PPh badan. Kasus ketiga, pajak bonus karyawan investment banking dari AS. Agar pembayaran bonus ini tidak terdeteksi, karyawan investment banking cabang Inggris diminta mengajukan permohonan pinjaman lunak ke investment banking cabang AS. Dengan dalih pinjaman lunak, karyawan investment banking cabang Inggris tidak harus membayar pajak penghasilan.
Atas kecurangan ini, investment banking cabang Inggris harus membayar denda 500 juta pounds (Rp.7,5 trilyun). Kasus keempat, skandal bunga pinjaman Perusahaan Air Minum swasta Inggris. PAM ini meminjam dari induknya di Hongkong yang mengeluarkan eurobond melalui tax havens countries di Channel Islands dan Cayman Island. Anak usaha di Inggris meminjam dari induknya lebih dari 1 milyar pounds (Rp.15 trilyun) dengan suku bunga 11 persen atau sekitar Rp. 1,65 trilyun per tahun.
Menurut aturan Inggris, pembayaran bunga ke luar negeri dipotong pajak 20 persen, kecuali pinjaman obligasi eurobond. Dengan meminjam eurobond di Channel Islands dan Cayman Island, PAM swasta “menghemat” pajak bunga pinjaman 20 persen dari Rp.1,65 trilyun atau sekitar Rp.330 milyar (22 juta pounds). Padahal secara akumulasi pembayaran bunga pinjaman perusahaan air minum di Inggris setahun sebesar 2,1 milyar pounds. Dengan pajak bunga 20 persen, kerugian Inggris dari penghindaran pajak bunga senilai 420 juta pounds atau sekitar Rp.6,3 trilyun.
Penghindaran pajak lazim dilakukan perusahaan global dengan cabang di berbagai negara. Modusnya usang tapi selalu berhasil. Pertama, pembayaran biaya manajemen royalti atas HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan merek kepada perusahaan induk. Peningkatan royalti akan meningkatkan biaya yang pada akhirnya mengurangi laba bersih sehingga PPh badan juga turun. Jika tarif tax treaty untuk pajak royalti hanya 10 persen dan tarif PPh badan adalah 25 persen, maka Indonesia kehilangan 15 persen PPh.
Modus kedua, pembelian bahan baku dari perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan dengan harga mahal dari perusahaan segrup yang berdiri di negara bertarif pajak rendah.
Modus ketiga, berhutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi ini adalah dividen terselubung ke perusahaan induk.
Modus keempat, menggeser biaya usaha (termasuk gaji pegawai headquarters) ke negara bertarif pajak tinggi (cost center) seperti Inggris dan mengalihkan profit ke negara bertarif pajak rendah (profit center) seperti Bermuda. Dengan demikian keuntungan perusahaan terlihat kecil dan tidak perlu membayar pajak korporasi.
Modus kelima, menarik dividen lebih besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen untuk menghindari pajak korporasi. Modus terakhir dengan mengecilkan omset penjualan. Perusahaan menjual rugi barang ke cabang perusahaan di negara bertarif pajak rendah, sehingga penjualan ekspor terlihat merugi. Kemudian dari cabang tersebut, barang dijual dengan harga normal ke konsumen akhir.
Bagaimana di Indonesia? Peningkatan pembayaran royalti ke perusahaan induk (parent company) berpotensi mengurangi PPh badan yang harus dibayar perusahaan. Dari laporan keuangan di BEI, sebuah perusahaan consumer goods harus membayar royalti kepada holding company di Belanda, dari 3,5 persen meningkat ke 5 sampai 8 persen mulai tahun 2013-2015. Asumsi omset tahun 2013-2015, consumer goods tersebut stagnan di angka Rp. 27 trilyun, dengan kenaikan royalti dari 3,5 persen menjadi 8 persen, berarti ada kenaikan royalti sebesar 4,5 persen dikalikan Rp.27 trilyun atau sekitar Rp.1,215 trilyun. Potensial loss PPh badan tahun 2015 adalah Rp.1,215 trilyun dikalikan 25 persen atau sebesar Rp.303 milyar.
Hal ini menurut aturan adalah legal namun kurang adil jika dilihat dari sisi pajak bagi negara sumber penghasilan, karena 8 persen harga produk dibayar rakyat Indonesia lari ke royalti holding company. Apakah ada penghindaran pajak di Indonesia? Sangat mungkin, karena banyak perusahaan global yang juga beroperasi di Indonesia.
Upaya membuktikan penghindaran pajak tidak mudah, namun ada upaya yang bisa dicoba. Pertama, benchmarking kewajaran nilai biaya beban umum seperti royalti offshore licensing dan jasa manajemen. Apa ada perbedaan tarif jasa manajemen dan royalti antara Indonesia dengan negara lain untuk perusahaan yang sama? Perusahaan consumer goods di India hanya membayar royalti 1,4 sampai 3,15 persen di tahun 2018, sementara di Indonesia antara 5-8 persen.
Biaya royalti dan jasa manajemen yang tinggi bisa dianggap sebagai dividen, selain tentunya merugikan investor minoritas. Kedua, perlu ada aturan pencabutan ijin suatu usaha Penanaman Modal Asing jika dalam waktu sekian tahun rugi terus menerus tapi terus beroperasi. Ketiga, meninjau ulang perjanjian perhindaran pajak berganda (P3B) dengan negara-negara tempat domisili holding company yang memiliki anak usaha di Indonesia, seperti Singapura, Jepang, Korea, China dan negara Eropa. Keempat, perlu kesepakatan pertukaran data keuangan perbankan dengan negara anggota OECD, untuk mengejar data keuangan para penghindar pajak, seperti yang dilakukan parlemen Uni Eropa. Kelima, pembatasan tarif bunga pinjaman ke perusahaan induk.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber : www.dirjenpajak.co.id