Kepastian Hukum Pemungutan PPN Atas Belanja Negara
Oleh Asep Rosyidin Kanny,
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam kegiatan sehari-harinya,
satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang berasal dari APBN untuk
membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang diakibatkan
dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional.
Dari kegiatan belanja barang dan
atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis aturan yang
harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan
aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara.
Atas transaksi pengadaan barang
dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan negara yang salah satu berasal dari
Pajak Pertambahan Nilai. Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003
diatur bahwa Bendaharawan Pemerintah ditetapkan sebagai pemungut Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena
Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. Pada pasal 4 ayat (1)
huruf a Keputusan Menteri Keuangan ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah
dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dari aturan ini
jelas terlihat bahwa setiap pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah wajib
dipungut PPN. Namun jangan dilupakan, di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini
PPN dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan
Pemerintah sehingga rekanan non PKP tidak dapat dilakukan pemungutan PPN.
Dari sini timbul permasalahan,
apakah untuk menjadi rekanan pemerintah khususnya untuk nilai pengadaan di atas
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah harus menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terlebih dahulu atau
tidak? Untuk menjawab hal ini perlu kita kupas satu per satu konsekuensi
alternatif jawaban dari pertanyaan diatas.
Dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor
70 tahun 2012 diatur bahwa peserta penyedia barang/jasa yang dapat mengikuti
pelaksanaan pengadaan barang/jasa terdiri dari penyedia usaha kecil dan non
kecil. Kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah). Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia nomor 68/PMK.03/2010 tentang batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai pada pasal 1 ayat (1) menyatakan Pengusaha kecil adalah
pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan
bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dan pada
pasal 2 dikatakan bahwa pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukannya.
Dari uraian diatas, jika kita
mewajibkan calon rekanan yang ingin mengikuti proses pengadaan barang dan/atau
jasa di lingkungan pemerintah untuk menjadi PKP terlebih dahulu atau
men-syaratkan di dalam dokumen pengadaannya bahwa calon penyedia harus telah
dikukuhkan sebagai PKP meskipun omzetnya belum mewajibkan menjadi PKP maka kita
akan melanggar salah satu prinsip pengadaan barang dan/ atau jasa yaitu prinsip
adil / tidak diskriminatif. Sehingga jika calon rekanan tidak terima jika
digagalkan menjadi penyedia dengan alasan belum menjadi PKP pada proses
pengadaan, yang bersangkutan dapat mengajukan sanggah dan sanggah banding yang
tentunya akan mengganggu jadwal pengadaan yang telah disusun rapi oleh Pejabat
Pembuat Komitmen dan Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan.
Namun dalam proses berjalan,
jika Panitia Pengadaan memilih penyedia yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dan Pejabat Pembuat Komitmen beserta penyedia tersebut telah menanda
tangani kontrak akan ada hambatan berikutnya. Setelah penyedia melaksanakan
kewajiban nya sesuai yang tertera pada kontrak yang telah ditanda tangani
sebelumnya, penyedia tersebut dapat mengajukan tagihan kepada negara
berdasarkan bukti-bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran. Namun berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal 40
ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan
pembayaran adalah Faktur pajak beserta Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah
ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran. Sedangkan menurut
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhiur
diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa orang pribadi
atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak.
Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur
pajak, atau bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin
membantu rekanan agar memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur
pajak atas nama rekanan meskipun mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan
sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak main-main menunggu.
Di Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai menyatakan dalam hal Faktur Pajak telah dibuat oleh orang
pribadi atau badan yang belum dikukuhkan sebagai PKP, maka orang pribadi atau
badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak
ke Kas Negara. Mungkin sanksi ini masih dapat diabaikan karena PPN yang
terutang tadi sudah dipungut oleh bendaharawan. Namun ada sanksi lain di
Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada pasal 39A yang mengancam penerbit faktur pajak tetapi belum
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan ancaman pidana dengan pidana
penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6
(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Tentunya melihat ancaman sanksi
sedemikian rupa seharusnya membuat rekanan yang belum menjadi PKP tadi akan
pikir-pikir jika akan membuat faktur pajak. Sehingga walaupun penyedia telah
melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai dengan kontrak, penyedia tidak dapat
dilakukan pembayaran karena yang bersangkutan bukan PKP yang dapat memberikan
faktur pajak sesuai syarat pembayaran SPM LS sebagaimana diatur di dalam
PMK-190/PMK.05/2012 di atas. Dan jika penyedia tetap tidak dapat dibayarkan,
penyedia ujung-ujungnya dapat melakukan gugatan ke PTUN yang tentunya akan
menguras waktu dan pikiran.
Dari kedua alternatif jawaban dari pertanyaan di
atas ternyata sama-sama mengandung konsekuensi yang tidak mengenakkan baik bagi
pihak Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan
serta penyedia yang terlibat dalam pengadaan barang/ jasa akibat adanya ketidak
pastian hukum di atas.
Pengalaman di lapangan, setiap
rekanan maupun calon rekanan pemerintah secara informal diwajibkan untuk
menjadi PKP. Namun saat ini ada program e-procurement yaitu proses pengadaan
yang seluruh proses pemilihan calon penyedia nya dilaksanakan melalui media
internet yang akhir-akhir ini digalakkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) yang dalam proses nya mengurangi tatap muka
antara Unit Layanan Pengadaan atau panitia pengadaan dengan calon penyedia
sehingga proses pemilihan penyedia diharapkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Dengan adanya program ini, ada kemungkinan calon penyedia yang baru
berdiri dan belum dikukuhkan sebagai PKP namun memenuhi syarat untuk mengikuti
proses pengadaan barang / jasa sesuai kualifikasinya untuk mendaftar dan Unit
Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan tidak dapat menolak atau menggugurkan
rekanan ini hanya karena yang bersangkutan belum dikukuhkan sebagai PKP.
Saran dari penulis adalah
perlunya aturan yang dapat menutupi ketidak pastian hukum ini sehingga di dalam
menjalankan tugas, masing-masing pihak tidak diliputi keragu-raguan dalam
bertindak. Selain itu diperlukan adanya forum yang sinergi dan komunikasi yang
intens antara LKPP selaku lembaga yang melakukan fungsi pengawasan dan
perumusan kebijakan dalam proses pengadaan barang/ jasa yang berasal dari APBN
maupun APBD, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Perbendaharaan selaku
unit eselon I di Kementerian Keuangan yang masing-masing mengurusi masalah
perpajakan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara untuk merumuskan
aturan yang terbaik yang mengakomodasi semua pihak. Karena proses pengadaan
barang/ jasa yang baik dan penerimaan negara yang optimal sama-sama memiliki
arti penting bagi kemajuan bangsa ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber : www.dirjen
pajak.co.id