Kamis, 06 Juni 2013

MANISIK PAJAK PERUSAHAAN GLOBAL



MANISIK PAJAK PERUSAHAAN GLOBAL
Oleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Intensifikasi pajak dari perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu fokus Ditjen Pajak tahun ini. Jaringan perusahaan PMA yang di berbagai negara memungkinkan upaya penghindaran pajak. Khusus Uni Eropa, penghindaran pajak diperkirakan merugikan keuangan anggota Uni Eropa 1 triliun euro atau Rp 12.000 triliun di tahun 2012.
Pengalaman Inggris menggambarkan penghindaran pajak dilakukan dengan terstruktur. Akhir tahun 2012, badan pajak Inggris HMRC (HM Revenue and Customs) menisik pelaporan pajak 4 perusahaan global. Pertama, kasus franchisor kedai kopi asal Amerika Serikat (AS). Parlemen Inggris menyoroti laporan keuangan franchisor yang menyatakan rugi 112 juta pounds selama tahun 2008-2010 dan tidak membayar pajak PPh (pajak penghasilan) badan pada 2011. Dalam laporan ke investor, franchisor menyatakan omset selama 2008-2010, senilai 1,2 milyar pounds (Rp.18 trilyun).
Modus franchisor membuat laporan keuangan seolah rugi dengan tiga cara. Kesatu, membayar royalti offshore licensing atas desain, resep dan logo ke cabangnya di Belanda. Kedua, membayar bunga utang sangat tinggi, dimana hutang tersebut justru digunakan untuk ekspansi kedai kopi di negara lain. Ketiga, membeli bahan baku dari cabangnya di Swiss, walaupun pengiriman barang langsung dari negara produsen, dan tidak masuk ke Swiss. Kasus kedua, laporan pajak perusahaan internet search engine kakap berbasis di AS. Perusahaan ini meraih revenue di Inggris 398 juta pounds pada tahun 2011, tapi hanya membayar pajak 6 juta pounds. Keuntungan perusahaan cabang Inggris kemudian ditransfer ke cabang di Irlandia, Belanda dan berakhir di Bermuda.
Negara Bermuda adalah tax havens country yang tidak memungut PPh badan. Kasus ketiga, pajak bonus karyawan investment banking dari AS. Agar pembayaran bonus ini tidak terdeteksi, karyawan investment banking cabang Inggris diminta mengajukan permohonan pinjaman lunak ke investment banking cabang AS. Dengan dalih pinjaman lunak, karyawan investment banking cabang Inggris tidak harus membayar pajak penghasilan.
Atas kecurangan ini, investment banking cabang Inggris harus membayar denda 500 juta pounds (Rp.7,5 trilyun). Kasus keempat, skandal bunga pinjaman Perusahaan Air Minum swasta Inggris. PAM ini meminjam dari induknya di Hongkong yang mengeluarkan eurobond melalui tax havens countries di Channel Islands dan Cayman Island. Anak usaha di Inggris meminjam dari induknya lebih dari 1 milyar pounds (Rp.15 trilyun) dengan suku bunga 11 persen atau sekitar Rp. 1,65 trilyun per tahun.
Menurut aturan Inggris, pembayaran bunga ke luar negeri dipotong pajak 20 persen, kecuali pinjaman obligasi eurobond. Dengan meminjam eurobond di Channel Islands dan Cayman Island, PAM swasta “menghemat” pajak bunga pinjaman 20 persen dari Rp.1,65 trilyun atau sekitar Rp.330 milyar (22 juta pounds). Padahal secara akumulasi pembayaran bunga pinjaman perusahaan air minum di Inggris setahun sebesar 2,1 milyar pounds. Dengan pajak bunga 20 persen, kerugian Inggris dari penghindaran pajak bunga senilai 420 juta pounds atau sekitar Rp.6,3 trilyun.
Penghindaran pajak lazim dilakukan perusahaan global dengan cabang di berbagai negara. Modusnya usang tapi selalu berhasil. Pertama, pembayaran biaya manajemen royalti atas HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan merek kepada perusahaan induk. Peningkatan royalti akan meningkatkan biaya yang pada akhirnya mengurangi laba bersih sehingga PPh badan juga turun. Jika tarif tax treaty untuk pajak royalti hanya 10 persen dan tarif PPh badan adalah 25 persen, maka Indonesia kehilangan 15 persen PPh.
Modus kedua, pembelian bahan baku dari perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan dengan harga mahal dari perusahaan segrup yang berdiri di negara bertarif pajak rendah.
Modus ketiga, berhutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi ini adalah dividen terselubung ke perusahaan induk.
Modus keempat, menggeser biaya usaha (termasuk gaji pegawai headquarters) ke negara bertarif pajak tinggi (cost center) seperti Inggris dan mengalihkan profit ke negara bertarif pajak rendah (profit center) seperti Bermuda. Dengan demikian keuntungan perusahaan terlihat kecil dan tidak perlu membayar pajak korporasi.
Modus kelima, menarik dividen lebih besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen untuk menghindari pajak korporasi. Modus terakhir dengan mengecilkan omset penjualan. Perusahaan menjual rugi barang ke cabang perusahaan di negara bertarif pajak rendah, sehingga penjualan ekspor terlihat merugi. Kemudian dari cabang tersebut, barang dijual dengan harga normal ke konsumen akhir.
Bagaimana di Indonesia? Peningkatan pembayaran royalti ke perusahaan induk (parent company) berpotensi mengurangi PPh badan yang harus dibayar perusahaan. Dari laporan keuangan di BEI, sebuah perusahaan consumer goods harus membayar royalti kepada holding company di Belanda, dari 3,5 persen meningkat ke 5 sampai 8 persen mulai tahun 2013-2015. Asumsi omset tahun 2013-2015, consumer goods tersebut stagnan di angka Rp. 27 trilyun, dengan kenaikan royalti dari 3,5 persen menjadi 8 persen, berarti ada kenaikan royalti sebesar 4,5 persen dikalikan Rp.27 trilyun atau sekitar Rp.1,215 trilyun. Potensial loss PPh badan tahun 2015 adalah Rp.1,215 trilyun dikalikan 25 persen atau sebesar Rp.303 milyar.
Hal ini menurut aturan adalah legal namun kurang adil jika dilihat dari sisi pajak bagi negara sumber penghasilan, karena 8 persen harga produk dibayar rakyat Indonesia lari ke royalti holding company. Apakah ada penghindaran pajak di Indonesia? Sangat mungkin, karena banyak perusahaan global yang juga beroperasi di Indonesia.
Upaya membuktikan penghindaran pajak tidak mudah, namun ada upaya yang bisa dicoba. Pertama, benchmarking kewajaran nilai biaya beban umum seperti royalti offshore licensing dan jasa manajemen. Apa ada perbedaan tarif jasa manajemen dan royalti antara Indonesia dengan negara lain untuk perusahaan yang sama? Perusahaan consumer goods di India hanya membayar royalti 1,4 sampai 3,15 persen di tahun 2018, sementara di Indonesia antara 5-8 persen.
Biaya royalti dan jasa manajemen yang tinggi bisa dianggap sebagai dividen, selain tentunya merugikan investor minoritas. Kedua, perlu ada aturan pencabutan ijin suatu usaha Penanaman Modal Asing jika dalam waktu sekian tahun rugi terus menerus tapi terus beroperasi. Ketiga, meninjau ulang perjanjian perhindaran pajak berganda (P3B) dengan negara-negara tempat domisili holding company yang memiliki anak usaha di Indonesia, seperti Singapura, Jepang, Korea, China dan negara Eropa. Keempat, perlu kesepakatan pertukaran data keuangan perbankan dengan negara anggota OECD, untuk mengejar data keuangan para penghindar pajak, seperti yang dilakukan parlemen Uni Eropa. Kelima, pembatasan tarif bunga pinjaman ke perusahaan induk.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber : www.dirjenpajak.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar