MANISIK PAJAK PERUSAHAAN GLOBAL
Oleh Anandita Budi
Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Intensifikasi
pajak dari perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu fokus
Ditjen Pajak tahun ini. Jaringan perusahaan PMA yang di berbagai negara
memungkinkan upaya penghindaran pajak. Khusus Uni Eropa, penghindaran pajak
diperkirakan merugikan keuangan anggota Uni Eropa 1 triliun euro atau Rp 12.000
triliun di tahun 2012.
Pengalaman
Inggris menggambarkan penghindaran pajak dilakukan dengan terstruktur. Akhir
tahun 2012, badan pajak Inggris HMRC (HM Revenue and Customs) menisik pelaporan
pajak 4 perusahaan global. Pertama, kasus franchisor kedai kopi asal Amerika
Serikat (AS). Parlemen Inggris menyoroti laporan keuangan franchisor yang
menyatakan rugi 112 juta pounds selama tahun 2008-2010 dan tidak membayar pajak
PPh (pajak penghasilan) badan pada 2011. Dalam laporan ke investor, franchisor
menyatakan omset selama 2008-2010, senilai 1,2 milyar pounds (Rp.18 trilyun).
Modus franchisor
membuat laporan keuangan seolah rugi dengan tiga cara. Kesatu, membayar royalti
offshore licensing atas desain, resep dan logo ke cabangnya di Belanda. Kedua,
membayar bunga utang sangat tinggi, dimana hutang tersebut justru digunakan
untuk ekspansi kedai kopi di negara lain. Ketiga, membeli bahan baku dari
cabangnya di Swiss, walaupun pengiriman barang langsung dari negara produsen,
dan tidak masuk ke Swiss. Kasus kedua, laporan pajak perusahaan internet search
engine kakap berbasis di AS. Perusahaan ini meraih revenue di Inggris 398 juta
pounds pada tahun 2011, tapi hanya membayar pajak 6 juta pounds. Keuntungan
perusahaan cabang Inggris kemudian ditransfer ke cabang di Irlandia, Belanda
dan berakhir di Bermuda.
Negara Bermuda
adalah tax havens country yang tidak memungut PPh badan. Kasus ketiga, pajak
bonus karyawan investment banking dari AS. Agar pembayaran bonus ini tidak
terdeteksi, karyawan investment banking cabang Inggris diminta mengajukan
permohonan pinjaman lunak ke investment banking cabang AS. Dengan dalih
pinjaman lunak, karyawan investment banking cabang Inggris tidak harus membayar
pajak penghasilan.
Atas kecurangan
ini, investment banking cabang Inggris harus membayar denda 500 juta pounds
(Rp.7,5 trilyun). Kasus keempat, skandal bunga pinjaman Perusahaan Air Minum
swasta Inggris. PAM ini meminjam dari induknya di Hongkong yang mengeluarkan
eurobond melalui tax havens countries di Channel Islands dan Cayman Island.
Anak usaha di Inggris meminjam dari induknya lebih dari 1 milyar pounds (Rp.15
trilyun) dengan suku bunga 11 persen atau sekitar Rp. 1,65 trilyun per tahun.
Menurut aturan
Inggris, pembayaran bunga ke luar negeri dipotong pajak 20 persen, kecuali
pinjaman obligasi eurobond. Dengan meminjam eurobond di Channel Islands dan Cayman
Island, PAM swasta “menghemat” pajak bunga pinjaman 20 persen dari Rp.1,65
trilyun atau sekitar Rp.330 milyar (22 juta pounds). Padahal secara akumulasi
pembayaran bunga pinjaman perusahaan air minum di Inggris setahun sebesar 2,1
milyar pounds. Dengan pajak bunga 20 persen, kerugian Inggris dari penghindaran
pajak bunga senilai 420 juta pounds atau sekitar Rp.6,3 trilyun.
Penghindaran
pajak lazim dilakukan perusahaan global dengan cabang di berbagai negara.
Modusnya usang tapi selalu berhasil. Pertama, pembayaran biaya manajemen
royalti atas HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan merek kepada
perusahaan induk. Peningkatan royalti akan meningkatkan biaya yang pada
akhirnya mengurangi laba bersih sehingga PPh badan juga turun. Jika tarif tax treaty
untuk pajak royalti hanya 10 persen dan tarif PPh badan adalah 25 persen, maka
Indonesia kehilangan 15 persen PPh.
Modus kedua,
pembelian bahan baku dari perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan
dengan harga mahal dari perusahaan segrup yang berdiri di negara bertarif pajak
rendah.
Modus ketiga,
berhutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar
kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi ini
adalah dividen terselubung ke perusahaan induk.
Modus keempat,
menggeser biaya usaha (termasuk gaji pegawai headquarters) ke negara bertarif
pajak tinggi (cost center) seperti Inggris dan mengalihkan profit ke negara
bertarif pajak rendah (profit center) seperti Bermuda. Dengan demikian
keuntungan perusahaan terlihat kecil dan tidak perlu membayar pajak korporasi.
Modus kelima,
menarik dividen lebih besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen
untuk menghindari pajak korporasi. Modus terakhir dengan mengecilkan omset
penjualan. Perusahaan menjual rugi barang ke cabang perusahaan di negara
bertarif pajak rendah, sehingga penjualan ekspor terlihat merugi. Kemudian dari
cabang tersebut, barang dijual dengan harga normal ke konsumen akhir.
Bagaimana di
Indonesia? Peningkatan pembayaran royalti ke perusahaan induk (parent company)
berpotensi mengurangi PPh badan yang harus dibayar perusahaan. Dari laporan
keuangan di BEI, sebuah perusahaan consumer goods harus membayar royalti kepada
holding company di Belanda, dari 3,5 persen meningkat ke 5 sampai 8 persen
mulai tahun 2013-2015. Asumsi omset tahun 2013-2015, consumer goods tersebut
stagnan di angka Rp. 27 trilyun, dengan kenaikan royalti dari 3,5 persen
menjadi 8 persen, berarti ada kenaikan royalti sebesar 4,5 persen dikalikan
Rp.27 trilyun atau sekitar Rp.1,215 trilyun. Potensial loss PPh badan tahun
2015 adalah Rp.1,215 trilyun dikalikan 25 persen atau sebesar Rp.303 milyar.
Hal ini menurut
aturan adalah legal namun kurang adil jika dilihat dari sisi pajak bagi negara
sumber penghasilan, karena 8 persen harga produk dibayar rakyat Indonesia lari
ke royalti holding company. Apakah ada penghindaran pajak di Indonesia? Sangat
mungkin, karena banyak perusahaan global yang juga beroperasi di Indonesia.
Upaya
membuktikan penghindaran pajak tidak mudah, namun ada upaya yang bisa dicoba.
Pertama, benchmarking kewajaran nilai biaya beban umum seperti royalti offshore
licensing dan jasa manajemen. Apa ada perbedaan tarif jasa manajemen dan
royalti antara Indonesia dengan negara lain untuk perusahaan yang sama?
Perusahaan consumer goods di India hanya membayar royalti 1,4 sampai 3,15
persen di tahun 2018, sementara di Indonesia antara 5-8 persen.
Biaya royalti
dan jasa manajemen yang tinggi bisa dianggap sebagai dividen, selain tentunya
merugikan investor minoritas. Kedua, perlu ada aturan pencabutan ijin suatu
usaha Penanaman Modal Asing jika dalam waktu sekian tahun rugi terus menerus
tapi terus beroperasi. Ketiga, meninjau ulang perjanjian perhindaran pajak
berganda (P3B) dengan negara-negara tempat domisili holding company yang
memiliki anak usaha di Indonesia, seperti Singapura, Jepang, Korea, China dan
negara Eropa. Keempat, perlu kesepakatan pertukaran data keuangan perbankan
dengan negara anggota OECD, untuk mengejar data keuangan para penghindar pajak,
seperti yang dilakukan parlemen Uni Eropa. Kelima, pembatasan tarif bunga
pinjaman ke perusahaan induk.
*) Tulisan ini merupakan
pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis
bekerja.
Sumber :
www.dirjenpajak.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar