Kamis, 06 Juni 2013

KEPASTIAN HUKUM PEMUNGUTAN PPN ATAS BELANJA NEGARA



Kepastian Hukum Pemungutan PPN Atas Belanja Negara

Oleh Asep Rosyidin Kanny, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam kegiatan sehari-harinya, satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang diakibatkan dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional.
Dari kegiatan belanja barang dan atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis aturan yang harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan negara yang salah satu berasal dari Pajak Pertambahan Nilai. Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 diatur bahwa Bendaharawan Pemerintah ditetapkan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. Pada pasal 4 ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Keuangan ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dari aturan ini jelas terlihat bahwa setiap pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah wajib dipungut PPN. Namun jangan dilupakan, di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini PPN dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah sehingga rekanan non PKP tidak dapat dilakukan pemungutan PPN.
Dari sini timbul permasalahan, apakah untuk menjadi rekanan pemerintah khususnya untuk nilai pengadaan di atas Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah harus menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terlebih dahulu atau tidak? Untuk menjawab hal ini perlu kita kupas satu per satu konsekuensi alternatif jawaban dari pertanyaan diatas.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 70 tahun 2012 diatur bahwa peserta penyedia barang/jasa yang dapat mengikuti pelaksanaan pengadaan barang/jasa terdiri dari penyedia usaha kecil dan non kecil. Kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 68/PMK.03/2010 tentang batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai pada pasal 1 ayat (1) menyatakan Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dan pada pasal 2 dikatakan bahwa pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Dari uraian diatas, jika kita mewajibkan calon rekanan yang ingin mengikuti proses pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan pemerintah untuk menjadi PKP terlebih dahulu atau men-syaratkan di dalam dokumen pengadaannya bahwa calon penyedia harus telah dikukuhkan sebagai PKP meskipun omzetnya belum mewajibkan menjadi PKP maka kita akan melanggar salah satu prinsip pengadaan barang dan/ atau jasa yaitu prinsip adil / tidak diskriminatif. Sehingga jika calon rekanan tidak terima jika digagalkan menjadi penyedia dengan alasan belum menjadi PKP pada proses pengadaan, yang bersangkutan dapat mengajukan sanggah dan sanggah banding yang tentunya akan mengganggu jadwal pengadaan yang telah disusun rapi oleh Pejabat Pembuat Komitmen dan Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan.
Namun dalam proses berjalan, jika Panitia Pengadaan memilih penyedia yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan Pejabat Pembuat Komitmen beserta penyedia tersebut telah menanda tangani kontrak akan ada hambatan berikutnya. Setelah penyedia melaksanakan kewajiban nya sesuai yang tertera pada kontrak yang telah ditanda tangani sebelumnya, penyedia tersebut dapat mengajukan tagihan kepada negara berdasarkan bukti-bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran. Namun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal 40 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran adalah Faktur pajak beserta Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara Pengeluaran. Sedangkan menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhiur diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak. Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur pajak, atau bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin membantu rekanan agar memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur pajak atas nama rekanan meskipun mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak main-main menunggu.
Di Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan dalam hal Faktur Pajak telah dibuat oleh orang pribadi atau badan yang belum dikukuhkan sebagai PKP, maka orang pribadi atau badan tersebut harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. Mungkin sanksi ini masih dapat diabaikan karena PPN yang terutang tadi sudah dipungut oleh bendaharawan. Namun ada sanksi lain di Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 39A yang mengancam penerbit faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan ancaman pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Tentunya melihat ancaman sanksi sedemikian rupa seharusnya membuat rekanan yang belum menjadi PKP tadi akan pikir-pikir jika akan membuat faktur pajak. Sehingga walaupun penyedia telah melaksanakan pekerjaan dengan baik sesuai dengan kontrak, penyedia tidak dapat dilakukan pembayaran karena yang bersangkutan bukan PKP yang dapat memberikan faktur pajak sesuai syarat pembayaran SPM LS sebagaimana diatur di dalam PMK-190/PMK.05/2012 di atas. Dan jika penyedia tetap tidak dapat dibayarkan, penyedia ujung-ujungnya dapat melakukan gugatan ke PTUN yang tentunya akan menguras waktu dan pikiran.
Dari kedua alternatif jawaban dari pertanyaan di atas ternyata sama-sama mengandung konsekuensi yang tidak mengenakkan baik bagi pihak Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan serta penyedia yang terlibat dalam pengadaan barang/ jasa akibat adanya ketidak pastian hukum di atas.
Pengalaman di lapangan, setiap rekanan maupun calon rekanan pemerintah secara informal diwajibkan untuk menjadi PKP. Namun saat ini ada program e-procurement yaitu proses pengadaan yang seluruh proses pemilihan calon penyedia nya dilaksanakan melalui media internet yang akhir-akhir ini digalakkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) yang dalam proses nya mengurangi tatap muka antara Unit Layanan Pengadaan atau panitia pengadaan dengan calon penyedia sehingga proses pemilihan penyedia diharapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya program ini, ada kemungkinan calon penyedia yang baru berdiri dan belum dikukuhkan sebagai PKP namun memenuhi syarat untuk mengikuti proses pengadaan barang / jasa sesuai kualifikasinya untuk mendaftar dan Unit Layanan Pengadaan atau Panitia Pengadaan tidak dapat menolak atau menggugurkan rekanan ini hanya karena yang bersangkutan belum dikukuhkan sebagai PKP.
Saran dari penulis adalah perlunya aturan yang dapat menutupi ketidak pastian hukum ini sehingga di dalam menjalankan tugas, masing-masing pihak tidak diliputi keragu-raguan dalam bertindak. Selain itu diperlukan adanya forum yang sinergi dan komunikasi yang intens antara LKPP selaku lembaga yang melakukan fungsi pengawasan dan perumusan kebijakan dalam proses pengadaan barang/ jasa yang berasal dari APBN maupun APBD, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Perbendaharaan selaku unit eselon I di Kementerian Keuangan yang masing-masing mengurusi masalah perpajakan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara untuk merumuskan aturan yang terbaik yang mengakomodasi semua pihak. Karena proses pengadaan barang/ jasa yang baik dan penerimaan negara yang optimal sama-sama memiliki arti penting bagi kemajuan bangsa ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Sumber : www.dirjen pajak.co.id




Tidak ada komentar:

Posting Komentar