Selasa, 22 Oktober 2013

ETIKA DAN BISNIS


ETIKA DAN BISNIS
1.    Pendahuluan
B
erbagai isu mengenai hubungan antara etika dan bisnis yang sering diungkapkan, antara lain diuraikan di bawah ini.
·      Etika bisnis merupakan suatu kontradiksi istilah karena ada pertentangan inheren antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian laba atau keuntungan. Ketika etika konflik dengan laba, bisnis lebih memilih laba daripada etika.
·      Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan dengan etika.
·      Merupakan kewajiban etis untuk membiarkan laba potensial yang seharusnya dimiliki, namun dinikmati oleh pihak lain karena mengambil keputusan untuk kepentingan masyarakat. Bisnis yang sangat sukses dan besar lebih memilih etika daripada laba. Dalam jangka panjang mungkin tidak ada konflik inheren antara tindakan etis dan pencarian laba. Tindakan etis menciptakan semacam kehendak baik dan reputasi yang memperluas kesempatan untuk laba. Banyak kasus-kasus perusahaan yang lebih memilih laba daripada etika dan banyak kasus perusahaan yang berlaba walaupun tindakannya tidak etis. Meskipun perusahaan-perusahaan sering terlibat dalam tindakan tidak etis, bagaimanapun, tindakan tidak etis yang sudah terbiasa tidak selalu merupakan strategi bisnis jangka panjang untuk sebuah perusahaan. Misalnya, coba  tanyakanlah pada diri Anda sendiri apakah sebagai karyawan atau mahasiswa, Anda lebih suka membeli pada perusahaan yang Anda ketahui jujur dan terpercaya, ataukah bIsnis yang mendapatkan reputasi karena ketidakjujuran dan kecurangannya? Tanyakanlah pada diri Anda sendiri apakah, sebagai karyawan, Anda lebih suka secara loyal mengabdi kepada perusahaan yang tindakannya terhadap Anda adil dan penuh hormat ataukah pada perusahaan yang biasa memperlakukan Anda secara tidak adil dan tidak hormat? Jelas, ketika perusahaan saling berkompetisi untuk memenangkan pelanggan dan karyawan yang terbaik, perusahaan dengan reputasi tindakan etis lebih memiliki laba daripada perusahaan dengan reputasi yang tidak etis.
2.    Etika
Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (the etha) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini, etika merupakan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik ataupun hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus menerus sebagai suatu kebiasaan.
Menurut kamus, (Webster’s Third New International Dictionary), istilah etika [1] memiliki beragam makna yang berbeda. Salah satu maknanya adalah “prinsip perilaku yang mengatur individu atau kelompok.” (the principles of conduct governing an individual or a group.”). Istilah etika pribadi, [2] misalnya,  ketika mengacu pada aturan-aturan dalam lingkup di mana orang per orang menjalankan kehidupan pribadinya. Istilah etika akuntansi, ketika mengacu pada seperangkat aturan (code) yang mengatur tindakan profesional akuntan.
Makna kedua – dan lebih penting – mengenai etika, menurut kamus tersebut, adalah  studi moralitas.” (the study of morality).  Meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak persis sama dengan moralitas. Etika adalah semacam investigasibaik aktivitas investigasi (penelahaan) maupun hasil-hasil penelahaan itu sendiri – sedangkan moralitas merupakan masalah subjek dengan mana etika melakukan penelahaan.
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Etika merupakan penelaahaan standar moral – proses pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkret. Tujuan akhir etika adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal (reasonable) untuk diterapkan – standar yang telah kita pertimbangkan dan kita putuskan secara cermat adalah standar yang benar untuk kita terima dan terapkan pada pilihan-pilihan yang mengisi hidup kita.
3.    Moralitas
Moralitas berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, dalam pengertian harfiahnya, etika dan moralitas, sama-sama sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan.  Moralitas dapat didefinisikan sebagai standar yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah  (right and wrong), atau baik dan jahat (good and evil).  
Standar moral (moral standards) mencakup norma-norma (norms) [3] yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral dan nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma-norma moral biasanya dinyatakan sebagai aturan atau pernyataan umum, semacam “Selalu katakanlah kebenaran,” Membunuh orang tak berdosa itu salah.” Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau ciri-ciri objek bernilai, semacam “Kejujuran itu baik” dan “Ketidakadilan itu buruk.”
Dari manakah standar moral itu berasal?  Biasanya standar moral pertama kali terserap ketika kanak-kanak dari keluarga, teman, dan beragam pengaruh kemasyarakatan seperti gereja/mesjid/vihara, sekolah, televisi, majalah, musik dan perkumpulan-perkumpulan. Kemudian ketika dewasa, pengalamam, pembelajaran, perkembangan intelektual akan mengarahkan orang dewasa untuk meninjau ulang standar-standar tersebut. Sebagian dibuang dan yang baru diadopsi untuk menggantikannya. Diharapkan melalui proses pendewasaan ini, orang akan mengembangkan standar-standar yang secara intelektual memadai dan yang lebih sesuai untuk menghadapi  sesuai dengan standar moral yang kita pegang yaitu kita tidak selalu melakukan apa yang kita percaya secara moral baik ataupun kita selalu mencari apa yang kita percaya secara moral baik.
Standar atau norma  moral  dapat dibandingkan  dengan standar yang kita yakini tentang hal-hal yang bukan moral. Contoh-contoh standar  atau norma nonmoral atau kadang kala disebut dengan standar dan norma “konvensional” (nonmoral norms atau conventional” standards and norms) termasuk norma sopan santun atau standar etiket (standards of etiquette) [4] yang kita gunakan untuk menilai sikap yang baik atau buruk, norma hukum yang digunakan untuk menilai yang benar dan salah secara hukum, norma bahasa yang digunakan untuk menilai benar dan salah secara gramatikal, dan norma  estetika yang digunakan untuk menilai seni yang baik atau yang buruk.
Bagaimana kita membedakan antara standar moral dan standar nonmoral (konvensional).  Sebelum membaca lebih lanjut, lihat dua daftar norma di bawah ini dan jelaskan yang mana daftar norma moral (moral norms) dan yang mana daftar norma nonmoral (nonmoral norms):
Group One
Group Two
Do not harm other people”
“Do not lie to other people”
“Do not steal what belongs to others”
“Do not eat with your mouth open”
“Do not chew gum in class”
“Do not wear sox that do not match”
Apakah yang membedakan standar (norma) moral dan yang bukan moral? Terdapat enam  ciri yang menentukan hakikat standar moral, yaitu:
(a)      Standar moral berkaitan dengan masalah yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia. Sebagai contoh, sebagian besar kita memiliki standar moral melawan pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, penyelahgunaan anak, penyerangan, skandal, penipuan, dan pelanggaran hukum. Semua itu berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan orang merupakan bentuk kejahatan yang sangat serius.
(b)     Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (mungkin khususnya) kepentingan sendiri. Yakni, jika seseorang mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan sesuatu, maka ia diharapkan melakukannya bahkan jika hal tersebut bertentangan dengan nilai norma konvensional hal ini tidak berarti, tentunya, bahwa bertindak untuk kepentingan diri selalu salah; artinya adalah salah memilih kepentingan diri di atas kepentingan moral.
(c)      Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak (impartial). Dengan kata lain bahwa standar moral didasarkan pada  "sudut pandang moral" – yaitu, sudut pandang yang tidak mengevaluasi standar menurut apakah mereka membela kepentingan individu atau kelompok tertentu, namun sudut pandang yang melampaui kepentingan pribadi  menuju pijakan universal di mana kepentingan setiap orang dilihat sejajar. Bagaimanapun ketidakberpihakan (impartiality) merupakan ciri standar moral, ia harus diseimbangkan dengan semacam keberpihakan (partiality), khususnya, pemihakan yang muncul dari kepedulian (caring) dan preferensi terhadap mereka yang memiliki hubungan khusus seperti anggota keluarga dan teman. Meskipun moralitas mengatakan bahwa kita hendaknya tidak berpihak di dalam konteks di mana keadilan (justice)  dipertanyakan, seperti menentukan gaji dalam perusahaan publik, moralitas juga memerhatikan konteks tertentu, seperti memedulikan anggota keluarga di mana kepedulian individual secara moral sah dan bahkan secara moral diperlukan.
(d)     Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu. Standar atau norma hukum[5] dan legal dibuat oleh otoritas pembuat undang-undang atau keputusan pemilih, sedangkan norma keluarga dan norma ruangan kelas ditetapkan oleh orang tua dan guru. Standar moral, dengan demikian, tidak dibuat oleh kekuasaan, demikian pula validitasnya tidak terletak pada prosedur pengambilan suara. Namun, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya; jadi, sejauh nalarnya  mencukupi, maka standarnya tetap sah.
(e)     Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan perbendaharaan kata tertentu. Misalnya, jika saya bertindak bertentangan dengan standar moral, normalnya saya akan merasa bersalah, malu, menyesal: saya akan menyebut perilaku saya “immoral” atau “salah” dan saya akan merasakan diri saya amat buruk dan mengalami hilangnya rasa percaya diri. Namun demikian, jika kita melihat orang lain bertindak berlawanan dengan standar moral yang kita terima, kita biasanya akan merasa marah, jengkel dan bahkan jijik terhadap orang tersebut; kita akan mengatakan mereka tidak melaksanakan “kewajiban moral” (“moral obligation”) mereka atau “tanggung jawab moral” (“moral responsibility”) mereka dan kita menghargai mereka lebih rendah.
(f)       Standar moral berlaku secara universal. Jadi, jika kita pada dasarnya menganggap bahwa standar moral – seperti “Jangan berbohong” atau “Jangan mencuri” – adalah standar moral, maka kita juga akan merasa bahwa setiap orang akan mencoba melaksanakan standar moral tersebut, dan kita akan bingung jika kita melihat pihak lain tidak melakukannya.
Dengan demikian, standar atau norma moral merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius,  didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu,  dan dengan perbendaharaan  moral tertentu, seperti “kewajiban” dan “tanggung jawab”
4.    Studi Etika
Studi etika dapat ditinjau dari studi deskriptif dan studi normatif. [6] Etika deskriptif (descriptive ethics) adalah mempelajari dan menjelaskan moralitas dari orang, budaya, atau masyarakat. Etika deskriptif mengenali, membandingkan, dan membedakan berbagai sistem moral, praktik kepercayaan, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang berbeda. Studi ini tidak berusaha untuk mencapai simpulan apa pun tentang hal-hal yang benar baik atau buruk dan benar atau salah. Namun, studi deskriptif berusaha mendeskripsikan atau menjelaskan dunia tanpa mencapai simpulan apa pun tentang apakah dunia itu sebagaimana diharapkan. [An investigation that attempts to describe or explain the world without reaching any conclusions about whether the world is as it should be. (What do people think is?)].
Etika normatif (normative ethics) mendasarkan pemahaman yang diperoleh dari etika deskriptif, dan berusaha untuk mengembangkan suatu sistem moral yang terpadu. Studi ini berusaha untuk mengungkapkan, mengembangkan dan memastikan prinsip-prinsip dasar moral atau nilai-nilai dasar moral dari suatu sistem moral dari suatu masyarakat, dan lebih umum masyarakat secara keseluruhan. Dalam etika normatif (preskriptif), maka dilakukan: (a) usaha untuk membentuk menjadi suatu kesatuan berbagai norma, aturan, dan nilai-nilai dari moralitas suatu masyarakat, (b) usaha untuk menemukan prinsip-prinsip dasar dan norma khusus dapat dijabarkan, dan (c) usaha untuk memastikan prinsip-prinsip moralitas dengan berbagai cara. Sebuah studi normatif merupakan penelusuran yang mencoba mencapai simpulan-simpulan normatif – yaitu, simpulan tentang hal-hal yang baik dan buruk atau tentang tindakan apa yang benar atau salah. [Normative study: An investigation that attempts to reach conclusions about what things are good or bad or about what actions are right or wrong. (How should people act?)]
5.    Etika Bisnis
Etika bisnis (business ethics) merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsenterasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam institusi bisnis, organisasi, dan perilaku. Etika bisnis merupakan studi standar moral dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa serta diterapkan kepada perilaku orang-orang yang ada di dalam organisasi. Dengan kata lain, etika bisnis adalah etika terapan. Studi etika bisnis tidak hanya mencakup analisis norma moral dan nilai moral tetapi juga berusaha mengaplikasikan simpulan-simpulan analisis tersebut ke berbagai institusi,  organisasi,  aktivitas, dan usaha-usaha yang kita sebut bisnis. [Business ethics is a form the art of applied ethics that examines ethical principles and moral or ethical problems that can arise in a business environment. Applied ethics: How do we take moral knowledge and put it into practice?]
Tiga jenis masalah atau isu yang dipelajari dalam etika bisnis: sistemik, korporasi, dan individual. Masalah sistemik (systemic) dalam etika bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya di mana bisnis beroperasi. Tingkatan ini mencakup pertanyaan mengenai moralitas kapitalisme atau hukum, regulasi, struktur industri dan praktik sosial di mana bisnis suatu negara dijalankan. Masalah korporasi (corporate) dalam etika bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik, atau struktur organisasi perusahaan invidual secara keseluruhan. Masalah inividual (individual) dalam etika bisnis adalah pertanyaan etis yang muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan serta keputusan dan perilaku mereka. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan, dan karakter individual.
Bidang kajian etika bisnis juga dapat dikelompokkan dalam level makro, level mikro, level individual, dan level internasional. Pada level makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan dan kemungkinan alternatif serta modifikasinya. Pada level mikro, etika bisnis mempelajari masalah-masalah etika di bidang organisasi atau perusahaan, termasuk serikat buruh, lembaga konsumen, asosiasi profesi, dan LSM. Pada level individu, fokusnya adalah mempelajari moral individu dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi dan bisnis. Pada level internasional, etika bisnis mempelajari tindakan-tindakan individu dan perusahaan dalam bisnis internasional, serta kegiatan lainnya yang memengaruhi lingkungan dunia dan manusia secara keseluruhan di muka bumi ini. Untuk menganalisis permasalahan moral, pertama-tama melihat termasuk dalam kategori manakah permasalahan itu apakah sistemik, korporasi, atau individual atau dapat juga dilihat dari level di atas.
6.    Penerapan Etika pada Organisasi Korporasi
Pernyataan bahwa etika bisnis menerapkan konsep moral atau  etika terhadap organisasi korporasi menimbulkan masalah teka-teki.
(a)      Dapatkah kita mengatakan bahwa tindakan organisasi (organization) bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama dengan tindakan individu manusia (human individual)?
(b)     Dapatkah kita mengatakan bahwa organisasi secara moral bertanggung jawab (“morally responsible”) atas tindakannya dalam pengertian yang sama dengan tanggung jawab individu manusia?
(c)      Atau haruskah kita mengatakan bahwa tidak masuk akal menerapkan pengertian moral terhadap organisasi sebagai keseluruhan, namun lebih masuk akal pada individu yang membuat organisasi? 
Beberapa tahun lalu, misalnya,  Pengadilan AS menuduh perusahaan akuntansi Arthur Anderson atas pelanggaran keadilan.   Arthur Anderson dituduh menghancurkan dokumen-dokumen dengan menunjukkan bagaimana dokumen tersebut  membantu Enron menyembunyikan utangnya melalui penggunaan beberapa trik akuntansi. Kritik-kritik setelah itu mengklaim bahwa seharusnya Pengadilan menuduh pegawai A.A secara  individu, bukan perusahaan, karena “Perusahaan tidak melakukan kejahatan atau kriminal, melainkan oranglah yang melakukan kriminal.” [7]
 Dapatkah pengertian moral seperti tanggung jawab (responsibiliy), perbuatan yang salah (wrongdoing} dan kewajiban (obligation) diterapkan terhadap kelompok seperti korporasi, ataukah pada orang secara individu sebagai satu-satunya pelaku moral (moral agent) yang nyata.
Ada dua pandangan muncul atas masalah ini. Yang ekstrim adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa korporasi bertindak (acted) seperti individu dan memiliki “tujuan yang disengaja” (“intended objective”) atas apa yang mereka lakukan,  kita juga dapat mengatakan bahwa mereka “secara moral bertanggung jawab” untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah “bermoral” atau “tidak bermoral” dalam pengertian yang sama seperti apa yang dilakukan manusia. Argumen dalam pandangan ini adalah: organisasi tampaknya tidak “bertindak” (“act”) atau bermaksud (“intend”) dalam pengertian yang sama seperti apa yang dilakukan individu manusia, dan organisasi berbeda dari manusia secara moral dalam hal: Organisasi tidak merasa kesedihan ataupun kesenangan dan tidak dapat bertindak kecuali lewat manusia.
Ekstrim yang lain adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal berpikir bahwa organisasi bisnis “secara moral bertanggung jawab” karena ia gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral (moral duties). Para filsuf golongan ini berpendapat bahwa organisasi bisnis sama dengan mesin yang anggotanya harus secara membabi buta menaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya tidak masuk akal untuk menganggap organisasi “secara moral bertanggung jawab” karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Masalah utama pada pandangan kedua ini adalah tidak seperti mesin, setidaknya sebagai anggota organisasi individu mengetahui apa yang mereka lakukan dan mereka bebas memilih apakah harus mengikuti aturan organisasi atau dapat mengubahnya. Ketika anggota organisasi secara kolektif, bebas dan sadar, berusaha mencapai tujuan-tujuan yang tidak bermoral, secara umum dapatlah dikatakan bahwa tindakan yang mereka lakukan untuk organisasi “tidak bermoral” dan bahwa organisasi secara moral bertanggung jawab atas tindakan tidak bermoral itu. 
Dari dua pandangan ekstrim tersebut, manakah yang benar? Mungkin tidak satu pun. Kesulitan kedua pandangan ini adalah: Meskipun kita mengatakan organisasi “ada” (“exist”) dan “bertindak” (“act”) seperti individu, mereka tetaplah bukan individu manusia. Karena tindakan korporasi berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia, individu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral: individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan korporasi secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika korporasi bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam korporasi itu: jika korporasi bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan untuk bertindak secara bermoral.
Namun demikian, masuk akal untuk mengatakan bahwa sebuah organisasi korporasi memiliki kewajiban moral (moral duty) dan secara moral bertanggung jawab (morally responsible) atas tindakannya dalam pengertian kedua (secondary or derivative sense). Sebuah korporasi memiliki kewajiban moral untuk melakukan sesuatu jika hanya sebagian anggotanya mempunyai sebuah kewajiban moral untuk memastikan bahwa hal tersebut dilakukan. Dan korporasi secara moral bertanggung jawab atas sesuatu jika hanya sebagian anggotanya secara moral bertanggung jawab atas apa yang terjadi (misalnya, mereka bertindak dengan kesadaran dan kebebasan).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apakah etika dapat diterapkan dalam korporasi:
(a)      Pendapat pertama mengatakan korporasi, seperti manusia, bertindak secara sengaja dan mempunyai hak dan kewajiban moral, dan oleh karena itu secara moral bertanggung jawab.
(b)     Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak masuk akal untuk  mengatakan kualitas etika diterapkan kepada korporasi karena korporasi tidak seperti mesin; hanya manusia yang dapat memiliki kualitas etika.
(c)      Pendapat tengah mengatakan bahwa manusia melakukan tindakan korporasi sehingga mereka  secara moral bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan dan kualitas etika diterapkan dalam pengertian utama (primary sense); korporasi memiliki kualiitas etika hanya dalam arti derivatif (derivative sense).
7.    Argumen yang Mendukung dan  yang Menentang Etika dalam Bisnis              
1)    Argumen yang Menentang Penerapan Etika dalam Bisnis
Orang jarang keberatan terhadap pandangan bahwa standar etis harus diterapkan pada perilaku orang dalam organisasi bisnis. Orang yang terlibat dalam bisnis hendaknya berfokus pada kepentingan  keuangan bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan “pekerjaan yang baik.” Tiga argumen atau keberatan atas penerapan etika dalam bisnis.
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas bersaing yang sempurna (perfectly competitive free markets), pencarian laba dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar berlaba, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan  oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilainya pada bisnis, namun mengabdikan dirinya untuk memproduksi secara efisien apa dianggap berharga oleh anggota masyarakat.
Beberapa asumsi yang menjadi dasar argumen adalah :
(a)      Sebagian besar industri tidak “kompetitif secara sempurna” dan sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan laba sekalipun produksi tidak efisien.
(b)     Argumen ini mengasumsikan bahwa langkah mana pun yang diambil untuk meningkatkan laba, perlu menguntungkan secara sosial, sekali pun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan laba yang sebenarnya merugikan masyarakat: membiarkan polusi yang berbahaya tidak terkendali, iklan yang menipu, menyembunyikan cacat produk, kecurangan, penyuapan, penghindaran pajak, penetapan harga, dan sebagainya.
(c)      Argumen ini mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apa pun yang diinginkan publik beli (atau nilai), perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataannya keinginan sebagian besar masyarakat (yang miskin dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam pasar.
(d)     Argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif (“manajer seharusnya mengabdikan diri mereka pada pencarian laba terfokus”) dengan dasar standar moral yang diasumsikan, namun belum terbukti (“orang hendaknya melakukan apa pun yang akan menguntungkan mereka yang berpartisipasi dalam pasar”). Dengan demikian, meskipun argumen itu berusaha menunjukkan bahwa etika bukan suatu masalah, argumen tersebut hanya dapat melakukannya dengan mengasumsikan standar moral yang belum terbukti yang setidaknya tampak salah.

Argumen kedua kadang diajukan untuk menunjukkan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar laba mereka dan mengabaikan pertimbangan etis yang disebut “argumen dari agen yang loyal” (“loyal agent’s argument”). Argumen tersebut dapat disedarhanakan adalah sebagai berikut:
(a)      Sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani  majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keahlian agen).
(b)     Majikan ingin dilayani dengan cara apa pun yang memajukan kepentingannya sendiri.
(c)      Dengan demikian, sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apa pun yang memajukan kepentingannya.
Argumen ini dapat, dan selalu, digunakan untuk membenarkan perilaku tidak beretika atau tidak legal (unethical or iilegal conduct) manajer.
Argumen agen yang loyal mengandalkan beberapa asumsi yang dapat dipertanyakan:
(a)      Argumen itu berusaha memperlihatkan bahwa etika bukan suatu masalah, yaitu dengan mengasumsikan standar moral yang tidak terbukti (“manajer harus mengabdi kepada majikannya dengan cara apa pun yang diinginkan majikannya”). Namun, tidak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa standar moral ini diterima sebagaimana adanya, beberapa alasan untuk memikirkan bahwa standar moral diterima hanya jika memenuhi kualifikasi secara tepat (misalnya, “manajer harus melayani majikannya dengan jalan moral dan legal apa pun yang diinginkan majikannya”).
(b)     Argumen agen yang loyal mengasumsikan bahwa tidak ada batasan kewajiban manajer melayani majikannya, namun kenyataannya batas semacam itu diekspresikan oleh institusi legal dan sosial dari mana kewajiban tersebut muncul. Kewajiban agen didefiniskan oleh apa yang disebut hukum agensi (the law of agency) (misalnya, hukum yang menentukan kewajiban orang  – “agent” – yang  setuju untuk bertindak demi pihak lain dan yang diberi kewenangan – “principle”). Pengacara, manajer, insinyur, palang saham, dan sebagainya semua bertindak sebagai agen untuk majikan mereka. Dengan secara bebas menyepakati perjanjian untuk bertindak sebagai agen seorang majikan, seseorang kemudian menerima kewajiban legal (dan moral) untuk mengabdi dengan loyal, taat, dan secara pribadi seperti ditentukan dalam hukum agensi. Akan tetapi, hukum agensi menyatakan bahwa “dalam menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak.....etika bisnis atau profesional harus dipertimbangkan”, dan, “dalam peristiwa apa pun dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis.” Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan-batasan moralitas, karena dengan pemahaman tersebutlah maka kewajibannya sebagai agen yang loyal didefinisikan.
(c)      Argumen agen yang loyal mengasumsikan bahwa jika manajer setuju untuk mengabdi kepada perusahaan, maka persetujuan tersebut secara otomatis membenarkan apa pun yang dilakukan manajer demi perusahaan. Bagaimanapun, asumsi ini salah. Persetujuan untuk mengabdi orang lain tidak secara otomatis membenarkan tindakan yang salah demi mereka. Misalnya, jelas salah jika saya membunuh orang tak berdosa demi kepentingan saya sendiri. Anggaplah suatu ketika saya sepakat untuk mengabdi pada kepentingan Anda dan ternyata kepentingan Anda mengharuskan saya membunuh orang tidak berdosa demi Anda. Apakah persetujuan tersebut dengan demikian dapat membenarkan tindakan saya membunuh orang tidak berdosa? Jelas tidak dapat karena persetujuan tidak mengubah karakteristik moral dari tindakan yang salah. Jika tindakan itu secara moral salah, maka, meskipun manajer tidak melakukannya demi kepentingan sendiri, dia secara moral salah karena melakukan tindakan itu demi kepentingan perusahaan meskipun dia telah sepakat untuk mengabdi perusahaan. Asumsi agen yang loyal dengan demikian keliru.

Argumen ketiga ditegakkan untuk menentang penerapan etika ke dalam bisnis. Ada keberatan bahwa untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekadar menaati hukum. Etika bisnis pada dasarnya adalah menaati hukum. If it is legal, then it is ethical. Misalnya, ketika seorang akuntan diminta untuk mempersiapkan laporan etika bisnis kepada dewan direksi PT ABC, laporannya tidak memasukkan pernyataan bahwa manajer toko berusaha menyuap petugas pajak. Ketika ditanya mengapa usaha penyuapan tersebut tidak dimasukkan dalam laporan, dia menjawab bahwa dia tidak merasa kejadian itu tidak etis karena kejadian itu bukan ilegal, yang menyiratkan bahwa tidak legal (illegal) dan tidak etis (unethical) sama saja. [8]
Adalah salah, bagaimanapun, memandang hukum dan etika adalah identik. Benar bahwa hukum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Contohnya hukum yang melarang pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penipuan dan lain sebagainya. Dalam kasus semacam ini, hukum dan moralitas serupa, dan kewajiban untuk menaati hukum itu sama dengan kewajiban untuk menjadi bermoral. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak mempunyai kaitan dengan moralitas karena tidak melibatkan masalah – masalah yang serius. Hukum ini meliputi hukum tentang parkir, cara berpakaian, dan hukum lainnya yang kejadiannya sama.  Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar moral kadang dimasukkan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum. Sebaliknya, hukum dikritik dan dihapus ketika jelas-jelas melanggar standar moral. Standar moral menentang penyuapan dalam bisnis, misalnya, telah dimasukkan ke dalam Foreign Corrupt Practice Act. (Undang-undang Praktik Korupsi, di AS) [9] dan hukum yang mengizinkan perbudakan—jelas tidak adil dan harus dihapus. Moralitas, dengan demikian, dibentuk dan dipengaruhi oleh banyak hukum yang kita miliki.
Lagipula, sebagian besar ahli etika setuju bahwa semua warga negara mempunyai kewajiban moral menaati hukum sejauh hukum jelas-jelas tidak mengharuskan perilaku yang tidak adil. Ini berarti, dalam sebagian besar kasus, melanggar hukum itu tidak bermoral. Namun,  tragisnya kewajiban menaati hukum dapat menciptakan konflik yang parah ketika hukum yang mengharuskan sesuatu yang dipercaya pebisnis adalah tidak bermoral. Dalam kasus seperti itu, seseorang akan menghadapi konflik antara kewajiban menaati hukum dan kewajiban menaati nuraninya. 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberatan atau argumentasi untuk menerapkan etika dalam bisnis adalah: (1) Dalam ekonomi pasar bebas, pencarian laba akan meyakinkan adanya manfaat sosial masyarakat yang maksimum, (2) Kewajban yang sangat penting dari manajer adalah untuk perusahaan, dan (3) Etika bisnis adalah dibatasi untuk mematuhi hukum.
2)    Argumen yang Mendukung Penerapan Etika dalam Bisnis
Pendapat sebaliknya mengatakan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.  Salah satu  berpendapat bahwa etika harus diterapkan dalam bisnis, karena etika harus mengatur semua aktivitas manusia secara sukarela/sengaja (voluntary human activities) , dan karena bisnis merupakan aktivitas manusia dilakukan secara sukarela, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Pendeknya, tidak ada sesuatu pun dalam bisnis yang mencegah kita menerapkan standar etika yang sama terhadap aktivitas bisnis yang seharusnya diterapkan pada semua aktivitas manusia yang disengaja.
Argumen lain menyatakan bahwa aktivitas bisnis, seperti aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku etis.
(a)      Individu bisnis mana pun akan bangkrut jika semua manajer, karyawan, dan pelanggannya berpikir bahwa secara moral diperbolehkan mencuri dari, berbohong kepada dan melanggar perjanjian dengan perusahaan. Karena tidak ada bisnis dapat bertahan sepenuhnya tanpa etika, tujuan bisnis paling tidak memerlukan ketaatan minimal terhadap etika dari mereka yang terlibat dalam bisnis.
(b)     Semua bisnis memerlukan masyarakat yang stabil untuk melaksanakan kesepakatan bisnis. Namun stabilitas masyarakat mana pun menuntut anggotanya untuk taat pada standar etika minimal tertentu. Dalam masyarakat tanpa etika (menurut ahli filsafat, Hobbes), suatu ketika menulis bahwa, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan “perang antar manusia terhadap manusia lain,(“a war of every man against every man”) dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi “kotor, brutal, dan dangkal.” (“nasty, brutish, and short”) Karena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etis kepada anggota dan juga masyarakat luas.

Cara persuasif lain berpendapat bahwa pertimbangan etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dengan pencarian laba. Namun dengan menunjukkan perusahaan-perusahaan individual di mana etika hidup berdampingan dengan pencarian laba, tidak sepenuhnya memperlihatkan bahwa etika konsisten dengan pencarian laba. Banyak faktor kesempatan mempengaruhi profitabilitas. (kapasitas berlebih, resesi, pola cuaca, tingkat bunga, selera konsumen yang berubah, dan sebagainya). Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak lebih dari sedikit perusahaan di mana secara kebetulan etika sejalan dengan laba selama periode waktu tertentu. Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan profitabilitas? Apakah perusahaan yang etis lebih menguntungkan daripada perusahaan lainnya? 
Akhirnya, terdapat banyak bukti bahwa sebagian besar orang juga akan menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnisnya dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan proses pembuatan keputusan perusahaan mereka tidak adil akan menunjukkan absentisme yang lebih tinggi, perputaran karyawan yang lebih tinggi, produktivitas yang lebih rendah, dan tuntutan upah yang lebih tinggi. Sebaliknya, bila karyawan merasa bahwa proses pengambilan keputusan organisasi adil, maka akan menunjukkan tingkat perputaran karyawan dan absentisme yang rendah, menunjukkan tingkat kepercayaan dan komitmen yang tinggi terhadap organisasi dan manajemen, dan tuntutan upah yang lebih rendah. Jika karyawan percaya bahwa suatu organisasi adil, mereka akan rela mengikuti manajer organisasi, melakukan apa yang dikatakan manajer, dan melihat legitimasi kepemimpinan manajer. Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif
 Dengan demikian, terdapat sejumlah argumen yang kuat untuk mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis, yaitu (1) Etika diterapkan terhadap semua aktivitas manusia, (2) Perusahaan-perusahaan tidak akan hidup (survive) tanpa etika, (3) Etika adalah konsisten dengan pencarian laba (profit seeking), dan (4) Pelanggan dan pegawai peduli terhadap etika.
8.    Tanggung Jawab dan Kesalahan Moral
Penalaran moral (moral reasoing) mengacu pada proses penilaian di mana perilaku, institusi, atau kebijakan dinilai sesuai dengan atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan tiga  komponen mendasar: (a) pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan, oleh standar moral yang masuk akal; (b) bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau menyalahkan, dan (c) suatu simpulan atau penilaian moral bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku yang dilarang atau diperlukan, benar atau salah,  adil atau tidak adil.
Penilaian moral, dengan demikian, kadang diarahkan kepada jenis penilaian yang berkaitan namun berbeda; menentukan apakah seseorang bertanggung jawab secara moral atau dapat disalahkan karena melakukan sesuatu yang salah atau karena merugikan orang lain.  Penilaian tentang tanggung jawab moral seseorang atau kerugian yang ditimbulkannya merupakan penilaian tentang sejauh mana seseorang pantas disalahkan atau dihukum, atau harus membayar ganti rugi.
Istilah tanggung jawab moral (moral responsibility) kadang digunakan dalam arti “kewajiban moral” (“moral obligation”) atau “tugas moral” (“moral duty”). Istilah tanggung jawab moral kadang juga digunakan untuk mengekspresikan bahwa seseorang disalahkan karena sebuah tindakan. Jadi istilah bertanggung jawab secara moral dengan maksud “menyalahkan” (“blame”).
Orang tidak selalu bertanggung jawab secara moral terhadap tindakan yang salah atau yang merugikan. Seseorang, misalnya, mungkin menyebabkan kerugian terhadap manusia yang tidak berdosa, namun melakukannya tanpa mengetahui apa yang dia kerjakan (mungkin dia melakukannya secara kebetulan). Apa yang dilakukan orang itu salah, tetapi orang itu “dimaafkan” karena ketidaktahuannya. Jadi kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab—atau disalahkan—karena melakukan sesuatu? Pandangan tradisional dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Seseorang secara moral bertanggung jawab atas kesalahannya jika orang tersebut menyebabkan (caused) kesalahan dan melakukannya dengan sadar dan bebas (knowlingly and freely).
Secara ringkas, karakteristik bahwa sesorang secara moral bertanggung jawab atas kesalahan atau yang merugikan jika:
(a)      Seseorang tersebut menyebabkan atau membantu menyebabkan suatu kesalahan,  atau gagal mencegahnya ketika dia seharusnya dapat mencegahnya;
(b)     Seseorang tersebut melakukannya dengan sadar apa yang sedang dilakukannya; dan
(c)      Seseorang tersebut melakukannya sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Misalnya, Stefan Golab , imigran Polandia berusia 59 tahun yang tidak fasih berbahasa Inggris, tewas karena keracunan sianida setelah bekerja selama 2 bulan di atas tangki terbuka yang menyemprotkan sianida untuk Film Recovery Systems, sebuah perusahaan yang mengganti perak pada film usang. Dalam kasus terkenal itu, Steven O’Neil, pimpinan perusahaan, Charles Kirschbaum, supervisor pabrik, dan Daniel Rodriguez, orang penting pabrik, diputuskan bertanggung jawab oleh pengadilan atas kematian Golab dengan tuduhan pembunuhan. Putusan itu didasarkan pada kesaksian para manajer yang membiarkan kondisi kerja membahayakan yang mengetahui ancaman bahaya seperti Golab yang tidak fasih berbahasa Inggiris dan mereka menghilangkan simbol bahaya tengkorak bersilang tulang dari drum-drum sianida. Dengan demikian, mereka secara moral bertanggung jawab atas kematian Golab karena (a) mereka menciptakan kondisi yang membahayakan yang menyebabkan kematiannya atau paling tidak mereka gagal mencegah kematiannya ketika mereka seharusnya dapat melakukan pencegahan sedemikian rupa; (b) dari bukti kesaksian, mereka “mengetahui kemungkinan membahayakan keselamatan” yang diakibatkan oleh tindakan mereka; dan (c) mereka bertindak dengan sengaja dan melakukan tindakan mereka secara bebas.

Jadi, tanggung jawab moral atas perbuatan merugikan atau kesalahan, mensyaratkan tiga hal: (1) seseorang menyebabkan atau gagal untuk mencegah perbuatan yang merugikan atau kesalahan ketika seseorang dapat dan seharusnya dapat melakukan pencegahan, (2) seseorang harus mengetahui apa yang sedang dia dilakukan, dan (3) seseorang harus bertindak secara bebas/kehendak sendiri.
Misalnya, beberapa pabrikan asbes baru-baru ini dinilai bertanggung jawab atas penyakit paru-paru yang diderita para pekerja. Penilaian ini didasarkan pada temuan bahwa pabrikan mempunyai kewajiban khusus (kewajiban yang mereka miliki karena posisi mereka) untuk memperingatkan pekerja tentang bahaya mengerjakan asbes yang telah mereka ketahui, tetapi mereka dengan sengaja gagal melaksanakan kewajiban ini, dan penyakit pernafasan merupakan bahaya yang telah diketahui yang seharusnya dapat mereka cegah sebagaimana seharusnya mereka lakukan sebagai kewajiban mereka. Dalam pembelaan mereka, pabrikan asbes membantah bahwa penyakit paru-paru yang diderita pekerja bukan disebabkan mengerjakan asbes, tetapi karena merokok. Pabrikan lain mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa kondisi dalam pabrik mereka menyebabkan kanker paru-paru para pekerja. Dan bahkan pabrikan yang lain mengatakan mereka tidak dapat secara bebas mencegah kesalahan tersebut dengan mencoba menyuruh pekerja mereka mengenakan masker dan pakaian pelindung, tetapi mereka menolaknya dan dengan demikian mereka menderita penyakit yang disebabkan pabrikan tidak dapat melakukannya karena lingkungan yang tidak dapat mereka kendalikan. Jika klaim  ini benar, maka pabrikan secara moral tidak bertanggung jawab atas penyakit paru-paru para pekerja.
Adalah penting untuk memahami tiga kondisi tersebut dengan baik untuk menilai apakah suatu pihak secara moral bertanggung jawab atas sesuatu. Persyaratan pertama atas tanggung jawab moral,  adalah seseorang harus yang menyebabkan kerugian atau kesalahan maupun gagal mencegahnya ketika dia seharusnya dapat melakukannya (tindakan seperti ini disebut “commission”). Tetapi adalah tidak mudah ketika suatu pihak menyebabkan kerugian atau kesalahan karena semata-mata gagal mencegahnya (kelalaian ini disebut “omissions”).
Misalnya, Nike, perusahaan sepatu atletik, telah menjadi pusat kontroversi atas tanggung jawabnya karena perlakuan yang salah terhadap para pekerja yang membuat sepatu. Nike sesungguhnya tidak membuat sepatu atletik yang dijualnya. Sebaliknya, Nike mendesain sepatunya di Seattle, Washington, dan kemudian membayar perusahaan-perusahaan di negara berkembang untuk membuat sepatu sesuai desainnya. Perusahaan-perusahaan rekanan luar negeri ini (di China, Indonesia, India, dan lain-lain) secara langsung memperlakukan secara salah dan mengeksploitasi pekerja mereka. Nike mengklaim bahwa mereka secara moral tidak bertanggung jawab atas perlakuan yang salah karena kerugian/penderitaan yang  dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mereka kontrak, sehingga dengan sendirinya Nike secara tidak langsung menyebabkan kerugian. Nike seharusnya dapat mencegah kerugian ini dengan memaksa rekanan-rekanannya untuk memperlakukan para pekerja secara manusiawi. Jika hal ini benar,  Nike mempunyai kekuasaan untuk mencegah kerugian tersebut, dan seharusnya dapat mencegahnya sedemikian rupa, maka Nike memenuhi kondisi pertama atas tanggung jawab moral. Tetapi jika Nike benar-benar kurang memiliki kekuasaan untuk mencegah kerugian ini – jika Nike tidak memiliki pengendalian atas tindakan para rekanannya – maka Nike  tidak memenuhi kondisi pertama.
Perhatikan bahwa kondisi pertama mengatakan bahwa seseorang secara moral bertanggung jawab atas kerugian jika mereka gagal mencegahnya, hanya jika mereka “seharusnya mampu” mencegahnya.
Persyaratan kedua atas tanggung jawab moral ini adalah: Orang harus mengetahui apa yang sedang dia lakukan. Hal ini berarti bahwa jika seseorang lalai (tidak mengetahui) suatu fakta bahwa tindakannya akan merugikan pihak lain, maka dia tidak bertanggung jawab atas kerugian tersebut.  Seseorang mungkin lalai (tidak mengetahui) fakta yang relevan maupun standar moral yang relevan. Misalnya, saya mungkin yakin bahwa penyuapan itu salah (sebuah standar moral), tetapi mungkin juga tidak menyadari bahwa ketika memberi tips pegawai bea cukai saya sebetulnya menyuap dia untuk membatalkan biaya impor tertentu (sebuah fakta).  Sebaliknya, saya mungkin betul-betul tidak tahu bahwa menyuap pegawai pemerintah adalah salah (sebuah standar moral), meskipun saya tahu ketika memberi tips pegawai bea cukai saya menyuapnya untuk mengurangi biaya yang terutang (sebuah fakta). Jika saya benar-benar tidak tahu bahwa yang sedang saya lakukan adalah salah, maka saya secara moral tidak bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Ketidaktahuan tentang fakta biasanya menghilangkan tanggung jawab moral secara menyeluruh karena alasan sederhana bahwa seseorang tidak dapat diwajibkan melakukan sesuatu yang tidak dapat dikendalikan. Karena orang tidak dapat mengendalikan hal-hal yang tidak mereka ketahui, mereka tidak dapat mempunyai tanggung jawab moral apa pun yang berkaitan dengan persoalan semacam itu, dan tanggung jawab moral mereka terhadap persoalan semacam itu akibatnya tidak ada.
Persyaratan ketiga atas tanggung jawab moral adalah seseorang harus bertindak secara bebas (sesuai dengan keinginannya). Seseorang bertindak secara bebas (free will) ketika seseorang bertindak dengan sengaja dan tindakannya bukan merupakan akibat dari tekanan internal atau tekanan eksternal yang tidak dapat dikendalikan. Dengan kata lain, seseorang bertindak sesuai dengan keinginannya bila dia memilih melakukan sesuatu dengan suatu alasan atau tujuan dan tidak terpaksa melakukannya akibat kekuatan internal atau eksternal yang tidak dapat dikendalikannya. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak; seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat bertindak; atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga mencegahnya mengendalikan tindakannya. Seorang manajer yang bekerja dengan lingkungan yang penuh tekanan, misalnya, mungkin begitu tegang sehingga suatu ketika dia marah kepada bawahannya dan tidak dapat mengendalikan tindakannya terhadap bawahannya itu. Dalam kasus ini, seseorang secara moral tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kerugian sebagai akibat ketidakmampuan seseorang mengendalikan kejadian-kejadian. Sejauh lingkunagn menyababkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai kesimpulan, seseorang secara moral tidak bertanggung jawab atas suatu kesalahan atau kerugian jika salah satu dari ketiga ini tidak ada:
(a)      Seseorang tidak menyebabkan dan tidak dapat mencegah suatu kesalahan atau kerugian, atau
(b)     Seseorang tidak mengetahui dia yang menyebabkan atau menimbulkan suatu  kesalahan atau kerugian, atau
(c)      Seseorang tidak menyebabkan  kesalahan atau kerugian sesuai dengan kehendaknya sendiri (kebebasan).  

Walaupun tidak ada salah satu dari tiga persyaratan ini akan sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan ada juga beberapa “faktor – faktor  yang meringankan” (“mitigating factors”) tanggung jawab moral seseorang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor-faktor yang meringankan mencakup:
(a)      Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan itu (ini memengaruhi tingkatan sampai di mana seseorang bebar-benar menyebabkan atau membantu menyebabkan kerugian)
Tanggung jawab seseorang dapat juga diperingan oleh lingkungan yang mengurangi keterlibatan aktif seseorang dalam tindakan yang menyebabkan kerugian. Seorang insinyur dapat berperan menghasilkan produk yang tidak aman, misalnya, secara sadar menggambar desain yang tidak aman dan dengan demikian secara aktif terlibat dalam sesuatu yang menyebabkan kerugian di masa mendatang. Sebaliknya, seorang insinyur dapat menyadari ciri-ciri desain orang lain yang tidak aman, namun secara pasif tidak melakukan apa pun mengenai hal tersebut karena “itu bukan pekerjaan saya.” Dalam kasus seperti itu, seorang insinyur tidak secara aktif terlibat sesuatu yang menyebabkan kerugian di masa mendatang. Namun demikian, jika seseorang mempunyai tugas khusus (yang secara resmi ditugaskan kepadanya) untuk melaporkan atau mencegah tindakan yang keliru, maka orang itu secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang dia laporkan atau diusahakannya untuk dicegah. Jika tidak maka orang tersebut terlibat dalam tindakan tersebut. Seorang akuntan, misalnya, yang digaji untuk melaporkan aktivitas tidak jujur yang teramati tidak dapat meminta keringanan tanggung jawab atas sebuah kebohongan yang secara sadar gagal untuk dilaporkannya dengan menunjukkan bahwa ia tidak terlibat secara aktif dalam tindakan yang tidak jujur itu.
(b)     Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang sedang dia lakukan (hal tersebut memengaruhi penegtahuan seseorang)
Lingkungan dapat menyebabkan ketidakpastian tentang beragam permasalahan. Seseorang mungkin secara jujur diyakinkan bahwa melakukan sesuatu adalah salah, namun mungkin masih ragu tentang beberapa fakta penting, atau ragu tentang standar moral yang tercakup atau ragu seberapa serius kesalahan dari tindakan itu. Misalnya, seorang pegawai yang diminta menyampaikan informasi kepada seorang pesaing mungkin merasa yakin bahwa melaksanakannya adalah keliru, tetapi mungkin juga mempunyai ketidakpastian mengenai seserius apa persoalan itu. Ketidakpastian semacam itu dapat memperingan tanggung jawab seseorang atas tindakan yang salah.
(c)      Lingkungan yang menyulitkan namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini memengaruhi kebebasan seseorang)
Seseorang mungkin sulit menghindari serangkaian tindakan tertentu karena dia merasa terancam atau tertekan atau karena menghindari tindakan itu akan sangat mahal harganya untuk orang tersebut. Manajer tingkat menengah, misalnya, kadang sangat ditekan atau diancam oleh atasan mereka untuk mencapai target produksi yang tidak realistis. Jika tekanan pada manajer cukup besar, maka tanggung jawab mereka juga hilang. Meskipun mereka disalahkan karena kekeliruan, kesalahan mereka diperingan (mereka yang dengan sadar dan bebas menekan bawahannya yang dapat dianggap menyebabkan tindakan yang salah juga bertanggung jawab terhadap tindakan yang salah).
(d)     Keseriusan kesalahan
Cakupan sejauh mana ketiga lingkungan yang meringankan ini dapat memperkecil tanggung jawab seseorang, tergantung pada tingkat keseriusan kesalahan. Misalnya, jika melakukan sesuatu yang sangat keliru, maka tekanan yang berat dan keterlibatan minimal secara substansial tidak mengurangi tanggung jawab seseorang atas tindakan itu. Jika majikan saya, misalnya, mengancam memecat saya kecuali jika saya menjual produk yang digunakan yang saya ketahui akan membunuh seseorang, malah jika saya mematuhinya meskipun kehilangan pekerjaan merupakan taruhan yang mahal bagi saya. Namun demikian, jika hanya masalah relatif lebih kecil yang terjadi, maka ancaman kehilangan pekerjaan secara substansial akan mengurangi tanggung jawab saya.

Berikut ini ikhtisar hal-hal yang mendasar dari diskusi tentang tanggung jawab moral individu atas kesalahan atau kerugian ini: Pertama, secara moral  individu bertanggung jawab jika (1) seseorang menyebabkan kerugian atau gagal mencegahnya ketika dia dapat dan seharusnya dapat mencegahnya, (2) seseorang mengetahui apa yang sedang dilakukannya, dan (3) seseorang bertindak sesuai dengan keinginannya. Kedua, tanggung jawab moral sepenuhnya dapat dihilangkan (dimaafkan) jika tidak ada salah satu dari unsur-unsur tersebut. Ketiga, tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian dapat dimitigasi oleh (a) bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), (b) ketidakpastian, dan (c) kesulitan, namun cakupan sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang tergantung pada keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor tersebut dapat memperingan.
1)    Tanggung Jawab Korporasi
Di dalam korporasi, tanggung jawab atas tindakan korporasi sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan korporasi biasanya terdiri atas tindakan atas atas kelalaian (omissions)  orang-orang yang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan korporasi bersama. Misalnya, sebuah tim manajer mendesain sebuh mobil, tim lain mengujinya, dan tim ketiga membuatnya, satu orang memberi perintah, memberi saran, atau memastikan sesuatu, yang lainnya melaksanakan perintah, saran dan kepastian tersebut; satu kelompok membohongi pembeli dan kelompok lainnya tahu namun diam-diam menikmati keuntungannya; satu orang menunjukkan caranya dan orang yang lain melaksanakannya; satu kelompok melakukan kesalahan dan kelompok lainnya menyembunyikan kesalahan itu.
Siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu? Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melaksanakan secara sadar dan bebas (knowingly and freely) apa yang diperlukan untuk menghasilkan tindakan korporasi, masing-masing secara formal bertanggung jawab. Dalam pandangan ini, situasi di mana seseorang memerlukan tindakan orang lain untuk melaksanakan tindakan korporasi yang keliru, secara prinsip tidak berbeda dengan situasi di mana seseorang memerlukan lingkungan eksternal untuk melakukan kesalahan.
Misalnya, jika saya menembak orang lain yang tidak bersalah, saya harus yakin pistol saya meletus (lingkungan eksternal). Jika saya ingin menipu pemegang saham korporasi, saya meyakinkan orang lain untuk ikut serta dalam penipuan itu. Saya dapat menyebabkan kerugian hanya dengan memastikan sesuatu atau orang lain selain diri saya sendiri. Dalam kedua kasus itu, jika saya dengan sengaja dan secara bebas berusaha untuk melakukan penipuan, maka saya sama-sama bertanggung jawab secara moral atas kerugian tersebut. Melakukan tindakan keliru dengan bantuan orang lain, dengan demikian, tidak berbeda dalam cara yang signifikan secara moral dari melakukan tindakan keliru yang disengaja dengan instrumen yang tidak bernyawa; orang secara penuh bertanggung jawab atas kesalahan atau kerugian bahkan jika tanggung jawab tersebut ditanggung bersama dengan orang lain. Jika, misalnya, sebagai anggota dewan direksi sebuah korporasi, dengan pengetahuan yang cukup dan kebebasan penuh, saya bertindak berdasarkan informasi dalam memilih opsi saham yang akan menguntungkan saya, namun secara tidak adil merugikan pemegang saham lainnya, amak saya bertanggung jawab atas tindakan dewan direksi yang keliru bahkan jika saya berbagi tanggung jawab dengan anggota lainnya. Dengan pilihan saya, saya mencoba melakukan tindakan korporasi yang ilegal dan saya melakukannya dengan sengaja dan dengan bebas.
Pandangan lain tentang tanggung jawab individual atas tindakan korporasi menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti korporasi bertindak bersama-sama, tindakan korporasi mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan, konsekuensinya, tindakan kelompokklah, bukan tindakan individual, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Misalnya, umumnya kita meyakini bahwa pabrik pembuat mobil yang tidak sempurna merupakan tanggung jawab korporasi yang membuatnya dan bukan individu insinyur yang bekerja di pabrik itu. Hukum biasanya membebankan tindakan manajer korporasi kepada korporasi (sejauh manajer bertindak dalam otoritas mereka) dan bukan manajer sebagi individual. Namun, meskipun kita kadang membebankan tindakan tindakan kepada kelompok korporasi, fakta legal dan linguistik tersebut tidak mengubah realistas moral di balik semua tindakan korporasi itu: Individu harus melaksanakan tindakan tertentu yang menghasilkan tindakan korporasi. Karena individu secara moral bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan bebas mereka yang telah diketahui dan disengaja, individu mana pun yang bergabung secara suka rela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan korporasi, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
2)    Tanggung Jawab Bawahan
Dalam sebuah korporasi, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka. Korporasi biasanya memiliki struktur otoritas hierarkis di mana perintah dan arahan berlangsung dari struktur yang lebih tinggi ke beraganm agen pada level yang lebih rendah. Seorang wakil direktur menatakan kepada beberapa manajer menengah bahwa mereka harus mencapai tujuan produksi tertentu dan para manajer menengah berusaha untuk mencapainya. Manajer pabrik memberitahu para mandor untuk menutup lini produk  tertentu dan mereka melakukannya. Seorang insinyur mengatakan kepada juru tulis untuk menulis kaporan tertentu dan dia melakukannya. Siapakah yang secara moral bertanggung jawab ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya (subordinate)  untuk melaksanakan tindakan yang merka tahu salah.
Orang kadang berpendapat bahwa ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu; Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukakannya. Misalnya, para manajer pabrik semikonduktor nasional memerintahkan karyawannya untuk menulis laporan pemerintah yang secara bohong menyatakan bahwa komponen komputer tertentu yang dijual kepada pemerintah menjalani uji kelayakan. Beberapa karyawan keberatan, namun ketika manajer bersikeras, karyawan menaati perintah mereka. Ketika laporan yang dipalsukan itu diketahui, manajer bersikeras bahwa hanya perusahaan sebagai keseluruhan yang harus bertanggung jawab atas laporan yang dipalsukan itu. Tak satu pun individu karyawan yang harus bertanggung jawab secara moral, bantah mereka, sebab masing-masing karyawan sekadar agen yang mengikuti perintah.
Jelaslah keliru, bagaimana pun memikirkan bahwa karyawan yang secara bebas dan sengaja/sadar (freely and knowingly) melakukan sesuatu yang salah, dibebaskan dari semua tanggung jawab ketika dia “mengikuti perintah.” (“following order”). Tanggung jawab moral menuntut bahwa seseorang bertindak secara bebas dan sadar untuk mengikuti perintah. Misalnya, jika saya diperintah atasan untuk membunuh pesaing dan saya melakukannya, saya tidak dapat menyatakan bahwa saya sepenuhnya tidak bersalah karena saya sekadar “mengikuti perintah.” Fakta bahwa atasan menyuruh sya melaksanakan apa yang saya ketahui sebagai tindakan tidak bermoral tidak dapat mengubah apa pun mengenai fakta bahwa dalam melaksanakan tindakan itu saya tahu bahwa saya melakukannyadan bagaimanapun dengan bebas memilih melakukan hal itu dan karena itu saya bertanggung jawab atas tindakan itu. Sebagaimana dalam “argumen agen yang loyal,” (“loyal agent’s argument”) ada batas-batas kewajiban karyawan untuk menaati atasannya: Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk menaati perintah melakukan apa pun yang tidak bermoral. Tentu, atasan dapat melakukan tekanan ekonomi yang signifikan terhadap seorang karyawan dan tekanan semacam itu dapat meringankan tanggung jawab karyawan, tetapi tekanan tersebut tidak sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung atas tindakan yang mereka ketahui salah. Apakah atasan juga bertanggung jawab secara moral? Jelas, atasan juga bertanggung jawab secara moral karena dalam memerintahkan karyawan, atasan dengan sadar dan bebas melakukan tindakan yang salah dengan karyawan sebagai instrumen. Fakta bahwa atasan menggunakan manusia untuk melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.


       

In business the handshake is an expression of trust, and ethical behavior is the foundation of trust



KASUS
Beberapa tahun yang lalu, B.F. Goodrich, pabrikan komponen kendaraan pesawat terbang, memenangkan kontrak militer untuk mendesain, menguji, dan memproduksi rem pesawat A7D, sebuah pesawat baru yang sedang didesain Angkatan Udara. Untuk mengonversi berat, Goodrich menjamin bahwa rem yang diproduksinya tidak melebihi berat 106 pound, terdiri atas empat piringan kecil atau “rotor,” dan mampu menghentikan pesawat dalam jarak tertentu. Kontrak tersebut secara potensial sangat menguntungkan bagi perusahaan sehingga para manajer sangat berminat untuk menciptakan rem yang “bermutu,” yaitu dengan sukses dapat lulus uji dan mampu menghentikan pesawat seperti yang diharapkan. Kernit Vandivier, seorang karyawan Goodrich, mendapatkan tugas untuk bekerja sama dengan para insinyur Goodrich, untuk membuat laporan tentang uji rem tersebut, yang tidak akan dipermasalahkan oleh pemerintah dan mungkin tidak perlu diulang. Namun sayang, tulis Vandivier kemudian, ketika rem kecil itu diuji linings pada permukaan rotor berulang kali “terhapus” sebab tidak terdapat luas permukaan yang mencukupi untuk menghentikan pesawat sehingga menyebabkan panas yang berlebih dan merusak lining. Supervisornya, meskipun demikian, berkata kepadanya bahwa “tidak perduli apa yang terjadi pada rem ketika diuji, kita tetap akan meloloskannya.” Setelah beberapa pengujian dilakukan, Vandivier diminta menjelaskan kepada supervisornya bahwa, “laporan itu hanya dibuat dengan memanipulasi data uji,” yang ditimpali oleh supervisornya bahwa “dia sadar betul akan tuntutan yang harus dipenuhi, tetapi dia diperintahkan untuk membuat laporan tertulis tidak peduli bagaimana atau apa yang telah terjadi.” Dengan demikian, Vandivier harus memutuskan apakah dia ingin berpartisipasi dalam mebuat laporan palsu. Dia kemudian berkomentar:
Pekerjaan saya bergaji besar, menyenangkan dan menantang, dan masa depan tampak sangat cerah. Saya dan istri telah membeli rumah..... Jika saya menolak ambil bagian dalam penipuan A7D, saya harus mundur atau dipecat. Laporan mungkin akan dibuat oleh orang lain, namun saya akan mendapatkan kepuasan dengan mengetahui bahwa saya tidak terlibat dalam hal itu. Namun tagihan-tagihan tidak dibayar dengan kepuasan pribadi, begitu pula rumah tidak dibayar dengan prinsip-prinsip etis. Saya membuat keputusan saya sendiri. Paginya saya menelepon atasan saya dan mengatakan kepadanya bahwa siap untuk mulai membuat laporan kualifikasi.
Ketika mengerjakan laporan, Vandivier berkata, dia berbincang-bincang dengan eksekutif senior yang ditugaskan di proyek itu dan bertanya kepadanya “apakah suara hatinya akan mengusiknya bila hal tersebut menyebabkan tewasnya seorang pilot, dan inilah yang dia katakan bahwa saya kuatir tentang banyak hal yang tidak berkaitan dengan saya dan dia menasihati saya untuk “lakukan saja apa yang diperintahkan.”






[1]  Istilah etika (ethics) pertama sekali digunakan oleh Aristotle, berdasarkan ajaran Socrates. Etika merupakan refleksi moral yang mencakup semua standar yang diperlukan masyarakat untuk kehidupan yang baik dan patut.
[2] Pentingnya Etika Pribadi. Keputusan ekonomi di dunia nyata akan memengaruhi kehidupan seseorang, dan adalah hal yang paling menakutkan mengetahui sesorang memiliki kekuasaan seperti ini di tangan mereka. Standar etika pribadi Anda memiliki arti yang sangat penting.
[3] Norma (standar) yang berlaku dalam masyarakat dapat dibedakan dalam norma umum dan norma khusus. Norma umum ini ada tiga, yaitu norma sopan santun (norma etiket), norma moral, dan norma hukum.
[4] Norma sopan santun (norma etiket) adalah aturan mengenai perilaku lahiriah orang dalam kehidupan bermayarakat. Norma ini merupakan norma sopan santun, misalnya menyangkut cara makan dan minum, cara berpakaian, dan cara berbicara. Kepatuhan pada etiket tidak membuat atau mengindikasikan seseorang bermoral. Sering orang terlalu mementingkan etiket dan mengabaikan etika, bahkan sering ketaatan pada etiket ini digunakan untuk menutupi permasalahan moral. Namun, hal ini tidak berarti bahwa etiket tidak penting. Hanya perlu disadari bahwa etiket adalah norma yang mengatur perilaku lahiriah dan tata krama bagi kenyamanan pergaulan antar manusia.

[5] Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam bermasyarakat. Keberlakuan norma hukum ini lebih tegas dan pasti karena didukung dan dijamin oleh hukuman dan sanksi bagi pelanggarnya. Demikian pula, berbeda dengan norma sopan santun (norma etiket) dan norma moral, norma hukum selalu dikodifikasikan dalam bentuk tertulis yang dapat dijadikan pegangan atau rujukan konkret bagi setiap anggota masyarakat baik dalam berperilaku maupun dalam menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya. Hukum sebenarnya adalah positivasi atau usaha mewujudkan norma moral secara tertulis. Dapat dikatakan, norma moral sebagai menjiwai norma hukum, atau norma hukum adalah usaha menuliskan norma moral. Dalam kenyataannya, sulit menjamin bahwa hukum merupakan perwujudan norma moral. Hukum adalah produk politik, karena disusun oleh kelompok masyarakat yang berkuasa secara politik dalam parlemen dan pemerintah saat itu. Ketaatan terhadap norma hukum sedikit banyak mencerminkan sikap dan kualitas pribadi pelakunya, namun ketaatan itu tidak dengan sendirinya menentukan kualitas moral pelakunya. Ketidaktaatan pada hukum bukan selalu berarti bahwa tindakan tersebut tidak bermoral.
Lingkup dari norma hukum dan norma moral sama, yaitu menyangkut perilaku atau tindakan orang yang dapat menimbulkan dampak yang dapat merugikan atau bermanfaat bagi manusia dan keselamatan masayarakat. Walaupun berbeda dengan norma hukum, norma moral diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap orang tanpa memperdulikan sanksi atau hukuman, dan ditaati hanya karena nilai yang terkandung dalam norma itu.

[6] Selain etika deskrptif dan etika normatif, dikenal juga etika meta (meta ethics; analytical etihics). Etika meta merupakan studi dari etika normatif, yang mempelajari penjelasan, penilaian asumsi,  dan investigasi kebenaran dari argumentasi moral, misalnya apa yang diartikan dengan tanggung jawab moral .
[7] Dalam kasus lain, Pengadilan AS menuduh E.F. Hutton Corporation melakukan penipuan yang sempurna di mana karyawan menulis hitungan yang melebihi catatan bank yang memungkinkan E.F. Hutton memperoleh bunga yang sebetulnya merupakan milik bank. Kritikus kemudian mengklaim bahwa seharusnya Pengadilan menuduh manajer E.F. Hutton per individu, bukan korporasi, karena korporasi tidak melakukan kejahatan, melainkan oranglah yang melakukan kejahatan.
[8] Ethics and the Law: ethical and legal, unethical and legal, ethical but illegal, unethical and illegal.
[9] Di Indonesia dikenal dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sumber : Bahan Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi, Monang Situmorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar