ETIKA DAN
BISNIS
1.
Pendahuluan
B
|
erbagai isu mengenai hubungan antara etika dan bisnis yang sering
diungkapkan, antara lain diuraikan di bawah ini.
· Etika
bisnis merupakan suatu kontradiksi istilah karena ada pertentangan inheren
antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian laba atau
keuntungan. Ketika etika konflik dengan laba, bisnis lebih memilih laba
daripada etika.
· Bisnis
adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan dengan etika.
· Merupakan
kewajiban etis untuk membiarkan laba potensial yang seharusnya dimiliki, namun
dinikmati oleh pihak lain karena mengambil keputusan untuk kepentingan
masyarakat. Bisnis yang sangat sukses dan besar lebih memilih etika daripada
laba. Dalam jangka panjang mungkin tidak ada konflik inheren antara tindakan
etis dan pencarian laba. Tindakan etis menciptakan semacam kehendak baik dan
reputasi yang memperluas kesempatan untuk laba. Banyak kasus-kasus perusahaan yang lebih memilih laba daripada
etika dan banyak kasus perusahaan yang berlaba walaupun tindakannya tidak etis.
Meskipun perusahaan-perusahaan sering terlibat dalam tindakan tidak etis,
bagaimanapun, tindakan tidak etis yang sudah terbiasa tidak selalu merupakan
strategi bisnis jangka panjang untuk sebuah perusahaan. Misalnya, coba tanyakanlah pada diri Anda sendiri apakah
sebagai karyawan atau mahasiswa, Anda lebih suka membeli pada perusahaan yang
Anda ketahui jujur dan terpercaya, ataukah bIsnis yang mendapatkan reputasi karena ketidakjujuran dan
kecurangannya? Tanyakanlah pada diri Anda sendiri apakah, sebagai karyawan, Anda lebih suka secara loyal mengabdi
kepada perusahaan yang tindakannya terhadap Anda adil dan penuh hormat ataukah
pada perusahaan yang biasa memperlakukan Anda secara tidak adil dan tidak
hormat? Jelas, ketika perusahaan saling berkompetisi untuk memenangkan
pelanggan dan karyawan yang terbaik, perusahaan dengan reputasi tindakan etis
lebih memiliki laba daripada perusahaan dengan reputasi yang tidak etis.
2.
Etika
Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (the
etha) berarti adat istiadat atau
kebiasaan. Dalam pengertian ini, etika merupakan kebiasaan hidup yang baik,
baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat.
Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik
ataupun hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari
satu orang ke orang lain atau satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan
ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus menerus sebagai suatu
kebiasaan.
Menurut kamus, (Webster’s Third New
International Dictionary), istilah etika [1] memiliki beragam makna yang berbeda.
Salah satu maknanya adalah “prinsip
perilaku yang mengatur individu atau kelompok.” (“the principles of conduct
governing an individual or a group.”). Istilah etika
pribadi, [2] misalnya, ketika mengacu pada aturan-aturan dalam
lingkup di mana orang per orang menjalankan kehidupan pribadinya. Istilah etika
akuntansi, ketika mengacu pada seperangkat aturan (code)
yang mengatur tindakan profesional akuntan.
Makna kedua – dan lebih penting – mengenai etika, menurut kamus tersebut,
adalah “studi moralitas.” (“the study of morality”).
Meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak persis sama
dengan moralitas. Etika adalah semacam investigasi – baik aktivitas investigasi (penelahaan) maupun hasil-hasil
penelahaan itu sendiri – sedangkan moralitas merupakan masalah subjek
dengan mana etika melakukan penelahaan.
Etika merupakan
ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat.
Etika merupakan penelaahaan standar moral – proses pemeriksaan standar moral
orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau
tidak untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkret. Tujuan akhir etika adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk
akal (reasonable) untuk diterapkan – standar yang telah kita
pertimbangkan dan kita putuskan secara cermat adalah standar yang benar untuk
kita terima dan terapkan pada pilihan-pilihan yang mengisi hidup kita.
3.
Moralitas
Moralitas berasal dari kata Latin mos,
yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti
adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, dalam pengertian harfiahnya, etika dan
moralitas, sama-sama sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik
sebagai manusia yang telah diinstitusionalisikan dalam sebuah adat kebiasaan
yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun
waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan. Moralitas dapat didefinisikan sebagai standar yang
dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah (right and wrong), atau baik dan jahat (good and evil).
Standar moral
(moral standards) mencakup
norma-norma (norms) [3]
yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini
benar atau salah secara moral dan nilai-nilai yang kita terapkan pada
objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk.
Norma-norma moral biasanya dinyatakan sebagai aturan atau pernyataan umum,
semacam “Selalu katakanlah kebenaran,” Membunuh orang tak berdosa itu salah.” Nilai-nilai
moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek
atau ciri-ciri objek bernilai, semacam “Kejujuran itu baik” dan “Ketidakadilan
itu buruk.”
Dari manakah standar moral itu berasal? Biasanya standar moral pertama
kali terserap ketika kanak-kanak dari keluarga, teman, dan beragam pengaruh
kemasyarakatan seperti gereja/mesjid/vihara, sekolah, televisi, majalah, musik
dan perkumpulan-perkumpulan. Kemudian ketika dewasa, pengalamam, pembelajaran,
perkembangan intelektual akan mengarahkan orang dewasa untuk meninjau ulang
standar-standar tersebut. Sebagian dibuang dan yang baru diadopsi untuk
menggantikannya. Diharapkan melalui proses pendewasaan ini, orang akan
mengembangkan standar-standar yang secara intelektual memadai dan yang lebih
sesuai untuk menghadapi sesuai dengan
standar moral yang kita pegang yaitu kita tidak selalu melakukan apa yang kita
percaya secara moral baik ataupun kita selalu mencari apa yang kita percaya
secara moral baik.
Standar atau norma moral
dapat dibandingkan dengan standar yang kita
yakini tentang hal-hal yang bukan moral. Contoh-contoh standar atau
norma nonmoral atau kadang kala disebut dengan standar dan norma “konvensional” (nonmoral norms atau “conventional” standards and norms) termasuk norma sopan santun atau standar etiket (standards of
etiquette) [4] yang kita gunakan untuk menilai
sikap yang baik atau buruk, norma hukum yang digunakan untuk
menilai yang benar dan salah secara hukum, norma bahasa yang
digunakan untuk menilai benar dan salah secara gramatikal, dan norma estetika yang digunakan untuk menilai seni
yang baik atau yang buruk.
Bagaimana kita membedakan antara standar moral dan
standar nonmoral (konvensional). Sebelum
membaca lebih lanjut, lihat dua daftar norma di bawah ini dan jelaskan yang
mana daftar norma moral (moral norms)
dan yang mana daftar norma nonmoral (nonmoral
norms):
Group One
|
Group Two
|
“Do not harm other people”
“Do not lie to other people”
“Do not steal what belongs to others”
|
“Do not eat with your mouth open”
“Do not chew gum in class”
“Do not wear sox that do not match”
|
Apakah yang
membedakan standar (norma) moral dan yang bukan moral?
Terdapat enam ciri yang menentukan
hakikat standar moral, yaitu:
(a)
Standar moral berkaitan dengan masalah yang kita anggap akan
merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia. Sebagai contoh, sebagian besar kita memiliki standar
moral melawan pencurian, pemerkosaan, perbudakan, pembunuhan, penyelahgunaan
anak, penyerangan, skandal, penipuan, dan pelanggaran hukum. Semua itu berkaitan
dengan hal-hal yang dirasakan orang merupakan bentuk kejahatan yang sangat
serius.
(b)
Standar moral harus lebih
diutamakan daripada nilai lain termasuk (mungkin khususnya) kepentingan
sendiri. Yakni, jika seseorang mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan
sesuatu, maka ia diharapkan melakukannya bahkan jika hal tersebut bertentangan
dengan nilai norma konvensional hal ini tidak berarti, tentunya, bahwa
bertindak untuk kepentingan diri selalu salah; artinya adalah salah memilih
kepentingan diri di atas kepentingan moral.
(c)
Standar moral
berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak (impartial).
Dengan kata lain bahwa standar moral didasarkan pada "sudut pandang moral" – yaitu, sudut pandang yang tidak
mengevaluasi standar menurut apakah mereka membela kepentingan individu atau
kelompok tertentu, namun sudut pandang yang melampaui kepentingan pribadi menuju pijakan “universal”
di mana kepentingan setiap orang dilihat sejajar.
Bagaimanapun ketidakberpihakan (impartiality) merupakan ciri standar moral,
ia harus diseimbangkan dengan semacam keberpihakan (partiality), khususnya, pemihakan yang muncul dari kepedulian (caring) dan preferensi terhadap mereka
yang memiliki hubungan khusus seperti anggota keluarga dan teman. Meskipun
moralitas mengatakan bahwa kita hendaknya tidak berpihak di dalam konteks di
mana keadilan (justice) dipertanyakan, seperti menentukan gaji dalam
perusahaan publik, moralitas juga memerhatikan konteks tertentu, seperti
memedulikan anggota keluarga di mana kepedulian individual secara moral sah dan
bahkan secara moral diperlukan.
(d)
Standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan
otoritatif tertentu. Standar atau norma
hukum[5] dan legal dibuat oleh otoritas pembuat undang-undang atau
keputusan pemilih, sedangkan norma keluarga dan norma ruangan
kelas ditetapkan oleh orang tua dan guru. Standar moral, dengan demikian,
tidak dibuat oleh kekuasaan, demikian pula validitasnya tidak terletak pada
prosedur pengambilan suara. Namun, validitas standar moral terletak pada
kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya; jadi, sejauh
nalarnya mencukupi, maka standarnya
tetap sah.
(e)
Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan
perbendaharaan kata tertentu. Misalnya,
jika saya bertindak bertentangan dengan standar moral, normalnya saya akan
merasa bersalah, malu, menyesal: saya akan menyebut perilaku saya “immoral”
atau “salah” dan saya akan merasakan diri saya amat buruk dan mengalami
hilangnya rasa percaya diri. Namun demikian, jika kita melihat orang lain
bertindak berlawanan dengan standar moral yang kita terima, kita biasanya akan
merasa marah, jengkel dan bahkan jijik terhadap orang tersebut; kita akan
mengatakan mereka tidak melaksanakan “kewajiban moral” (“moral obligation”) mereka atau “tanggung jawab moral” (“moral responsibility”) mereka dan kita
menghargai mereka lebih rendah.
(f)
Standar moral
berlaku secara universal. Jadi, jika kita pada dasarnya menganggap bahwa
standar moral – seperti “Jangan berbohong” atau “Jangan mencuri” – adalah
standar moral, maka kita juga akan merasa bahwa setiap orang akan mencoba
melaksanakan standar moral tersebut, dan kita akan bingung jika kita melihat
pihak lain tidak melakukannya.
Dengan
demikian, standar atau norma moral merupakan standar yang
berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui
kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak,
pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu, dan dengan perbendaharaan moral tertentu, seperti “kewajiban” dan “tanggung jawab”
4.
Studi Etika
Studi etika dapat ditinjau dari studi deskriptif dan studi normatif. [6] Etika
deskriptif (descriptive ethics)
adalah mempelajari dan menjelaskan moralitas dari orang, budaya, atau
masyarakat. Etika deskriptif mengenali, membandingkan, dan membedakan berbagai
sistem moral, praktik kepercayaan, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang
berbeda. Studi ini tidak berusaha untuk mencapai simpulan apa pun tentang
hal-hal yang benar baik atau buruk dan benar atau salah. Namun, studi
deskriptif berusaha mendeskripsikan atau menjelaskan dunia tanpa mencapai
simpulan apa pun tentang apakah dunia itu sebagaimana diharapkan. [An investigation that attempts to describe
or explain the world without reaching any conclusions about whether the world
is as it should be. (What do people
think is?)].
Etika normatif (normative
ethics) mendasarkan pemahaman yang diperoleh dari etika deskriptif, dan
berusaha untuk mengembangkan suatu sistem moral yang terpadu. Studi ini
berusaha untuk mengungkapkan, mengembangkan dan memastikan prinsip-prinsip
dasar moral atau nilai-nilai dasar moral dari suatu sistem moral dari suatu
masyarakat, dan lebih umum masyarakat secara keseluruhan. Dalam etika normatif
(preskriptif), maka dilakukan: (a) usaha untuk membentuk menjadi suatu kesatuan
berbagai norma, aturan, dan nilai-nilai dari moralitas suatu masyarakat, (b)
usaha untuk menemukan prinsip-prinsip dasar dan norma khusus dapat dijabarkan,
dan (c) usaha untuk memastikan prinsip-prinsip moralitas dengan berbagai cara.
Sebuah studi normatif merupakan penelusuran yang mencoba mencapai
simpulan-simpulan normatif – yaitu, simpulan tentang hal-hal yang baik dan buruk
atau tentang tindakan apa yang benar atau salah. [Normative study: An investigation that attempts to reach conclusions about
what things are good or bad or about what actions are right or wrong. (How should people act?)]
5.
Etika
Bisnis
Etika bisnis
(business ethics) merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan
salah. Studi ini berkonsenterasi pada standar moral sebagaimana diterapkan
dalam institusi bisnis, organisasi, dan perilaku. Etika bisnis merupakan studi
standar moral dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan
organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan
mendistribusikan barang dan jasa serta diterapkan kepada perilaku orang-orang
yang ada di dalam organisasi. Dengan kata lain, etika bisnis adalah etika terapan. Studi etika bisnis tidak hanya mencakup analisis norma moral dan
nilai moral tetapi juga berusaha mengaplikasikan simpulan-simpulan analisis
tersebut ke berbagai institusi,
organisasi, aktivitas, dan usaha-usaha
yang kita sebut bisnis. [Business
ethics is a form the art of applied ethics that examines ethical principles and
moral or ethical problems that can arise in a business environment. Applied
ethics: How do we take moral knowledge and put it into practice?]
Tiga jenis masalah atau isu yang
dipelajari dalam etika bisnis: sistemik, korporasi, dan individual. Masalah sistemik (systemic) dalam etika bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan etis
yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya
di mana bisnis beroperasi. Tingkatan ini mencakup pertanyaan mengenai moralitas
kapitalisme atau hukum, regulasi, struktur industri dan praktik sosial di mana
bisnis suatu negara dijalankan. Masalah
korporasi (corporate) dalam etika
bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam perusahaan tertentu.
Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan,
praktik, atau struktur organisasi perusahaan invidual secara keseluruhan. Masalah inividual (individual) dalam
etika bisnis adalah pertanyaan etis yang muncul seputar individu tertentu dalam
perusahaan serta keputusan dan perilaku mereka. Masalah ini termasuk pertanyaan
tentang moralitas keputusan, tindakan, dan karakter individual.
Bidang kajian etika bisnis juga dapat dikelompokkan dalam
level makro, level mikro, level individual, dan level internasional. Pada level makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek
moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan dan kemungkinan alternatif serta
modifikasinya. Pada level mikro,
etika bisnis mempelajari masalah-masalah etika di bidang organisasi atau
perusahaan, termasuk serikat buruh, lembaga konsumen, asosiasi profesi, dan
LSM. Pada level individu, fokusnya
adalah mempelajari moral individu dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi dan
bisnis. Pada level internasional,
etika bisnis mempelajari tindakan-tindakan individu dan perusahaan dalam bisnis
internasional, serta kegiatan lainnya yang memengaruhi lingkungan dunia dan
manusia secara keseluruhan di muka bumi ini. Untuk
menganalisis permasalahan moral, pertama-tama melihat termasuk dalam kategori
manakah permasalahan itu apakah sistemik, korporasi, atau individual atau dapat juga dilihat dari level di atas.
6.
Penerapan
Etika pada Organisasi Korporasi
Pernyataan
bahwa etika bisnis
menerapkan konsep moral atau etika
terhadap organisasi korporasi menimbulkan
masalah teka-teki.
(a)
Dapatkah kita mengatakan bahwa tindakan organisasi (organization) bermoral
atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama dengan tindakan individu manusia (human individual)?
(b)
Dapatkah kita mengatakan bahwa organisasi secara moral bertanggung
jawab (“morally responsible”) atas
tindakannya dalam pengertian yang sama dengan tanggung jawab individu manusia?
(c)
Atau haruskah kita mengatakan bahwa tidak masuk akal menerapkan
pengertian moral terhadap organisasi sebagai keseluruhan, namun lebih masuk
akal pada individu yang membuat organisasi?
Beberapa
tahun lalu, misalnya, Pengadilan AS menuduh perusahaan akuntansi
Arthur Anderson atas pelanggaran keadilan.
Arthur Anderson dituduh menghancurkan dokumen-dokumen dengan menunjukkan
bagaimana dokumen tersebut membantu
Enron menyembunyikan utangnya melalui penggunaan beberapa trik akuntansi.
Kritik-kritik setelah itu mengklaim bahwa seharusnya Pengadilan menuduh pegawai
A.A secara individu, bukan perusahaan,
karena “Perusahaan tidak melakukan kejahatan atau kriminal, melainkan oranglah
yang melakukan kriminal.” [7]
Dapatkah pengertian moral seperti tanggung
jawab (responsibiliy), perbuatan yang
salah (wrongdoing} dan kewajiban (obligation) diterapkan terhadap kelompok
seperti korporasi, ataukah pada orang secara individu sebagai satu-satunya
pelaku moral (moral agent) yang
nyata.
Ada dua
pandangan muncul atas masalah ini. Yang ekstrim adalah pandangan yang
berpendapat bahwa, karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita
untuk mengatakan bahwa korporasi bertindak (acted)
seperti individu dan memiliki “tujuan yang disengaja” (“intended objective”) atas apa yang
mereka lakukan, kita juga dapat
mengatakan bahwa mereka “secara moral bertanggung jawab” untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka
adalah “bermoral” atau “tidak bermoral” dalam pengertian yang sama seperti apa
yang dilakukan manusia. Argumen dalam pandangan ini adalah: organisasi
tampaknya tidak “bertindak” (“act”)
atau bermaksud (“intend”) dalam
pengertian yang sama seperti apa yang dilakukan individu manusia, dan
organisasi berbeda dari manusia secara moral dalam hal: Organisasi tidak merasa
kesedihan ataupun kesenangan dan tidak dapat bertindak kecuali lewat manusia.
Ekstrim yang
lain adalah pandangan filsuf yang
berpendirian bahwa tidak masuk akal berpikir bahwa organisasi bisnis “secara
moral bertanggung jawab” karena ia gagal mengikuti standar moral atau
mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral (moral
duties). Para filsuf golongan ini
berpendapat bahwa organisasi bisnis sama dengan mesin yang anggotanya harus
secara membabi buta menaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan
moralitas. Akibatnya tidak masuk akal untuk menganggap organisasi “secara moral
bertanggung jawab” karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik
organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Masalah utama pada
pandangan kedua ini adalah tidak seperti mesin, setidaknya sebagai anggota
organisasi individu mengetahui apa yang mereka lakukan dan mereka bebas memilih
apakah harus mengikuti aturan organisasi atau dapat mengubahnya. Ketika anggota
organisasi secara kolektif, bebas dan sadar, berusaha mencapai tujuan-tujuan
yang tidak bermoral, secara umum dapatlah dikatakan bahwa tindakan yang mereka
lakukan untuk organisasi “tidak bermoral” dan bahwa organisasi “secara moral
bertanggung jawab” atas tindakan tidak bermoral itu.
Dari dua
pandangan ekstrim tersebut, manakah yang benar? Mungkin tidak satu pun.
Kesulitan kedua pandangan ini adalah: Meskipun kita mengatakan organisasi “ada”
(“exist”) dan “bertindak” (“act”) seperti individu, mereka tetaplah
bukan individu manusia. Karena tindakan korporasi berasal dari pilihan dan tindakan individu
manusia, individu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama
kewajiban moral dan tanggung jawab moral: individu manusia bertanggung jawab
atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan korporasi secara keseluruhan
mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika korporasi bertindak keliru,
kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu
dalam korporasi itu: jika korporasi bertindak secara moral, hal itu disebabkan
oleh pilihan individu dalam perusahaan untuk bertindak secara bermoral.
Namun demikian,
masuk akal untuk mengatakan bahwa sebuah organisasi korporasi memiliki
kewajiban moral (moral duty) dan secara moral bertanggung jawab (morally
responsible) atas tindakannya dalam pengertian kedua (secondary or derivative sense). Sebuah
korporasi memiliki kewajiban moral untuk melakukan sesuatu jika hanya sebagian
anggotanya mempunyai sebuah kewajiban moral untuk memastikan bahwa hal tersebut
dilakukan. Dan korporasi secara moral bertanggung jawab atas sesuatu jika
hanya sebagian anggotanya secara moral bertanggung jawab atas apa yang
terjadi (misalnya, mereka bertindak dengan kesadaran dan kebebasan).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apakah etika
dapat diterapkan dalam korporasi:
(a)
Pendapat
pertama mengatakan korporasi, seperti manusia, bertindak secara sengaja dan
mempunyai hak dan kewajiban moral, dan oleh karena itu secara moral bertanggung
jawab.
(b)
Pendapat
kedua mengatakan bahwa tidak masuk akal untuk
mengatakan kualitas etika diterapkan kepada korporasi karena korporasi
tidak seperti mesin; hanya manusia yang dapat memiliki kualitas etika.
(c)
Pendapat
tengah mengatakan bahwa manusia melakukan tindakan korporasi sehingga
mereka secara moral bertanggung jawab
atas apa yang mereka lakukan dan kualitas etika diterapkan dalam pengertian utama
(primary sense); korporasi memiliki
kualiitas etika hanya dalam arti derivatif (derivative
sense).
7.
Argumen
yang Mendukung dan yang Menentang Etika dalam Bisnis
1)
Argumen yang Menentang Penerapan Etika dalam
Bisnis
Orang jarang keberatan terhadap pandangan
bahwa standar etis harus diterapkan pada perilaku orang dalam organisasi
bisnis. Orang yang terlibat dalam bisnis hendaknya berfokus pada
kepentingan keuangan bisnis mereka dan
tidak membuang-buang energi mereka atau sumber daya perusahaan untuk melakukan
“pekerjaan yang baik.” Tiga argumen atau keberatan atas penerapan etika dalam
bisnis.
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di
pasar bebas bersaing yang sempurna (perfectly competitive free markets), pencarian laba dengan sendirinya
menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling
menguntungkan secara sosial. Agar berlaba, masing-masing perusahaan harus
memproduksi hanya apa yang diinginkan
oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang paling
efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika manajer
tidak memaksakan nilai-nilainya pada bisnis, namun mengabdikan dirinya untuk
memproduksi secara efisien apa dianggap berharga oleh anggota masyarakat.
Beberapa asumsi yang menjadi dasar
argumen adalah :
(a)
Sebagian besar industri tidak “kompetitif secara sempurna” dan
sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan laba
sekalipun produksi tidak efisien.
(b)
Argumen ini mengasumsikan bahwa langkah mana pun yang diambil untuk
meningkatkan laba, perlu menguntungkan secara sosial, sekali pun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan laba yang sebenarnya
merugikan masyarakat: membiarkan polusi yang berbahaya tidak terkendali, iklan
yang menipu, menyembunyikan cacat produk, kecurangan, penyuapan, penghindaran
pajak, penetapan harga, dan sebagainya.
(c)
Argumen ini mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apa pun yang
diinginkan publik beli (atau nilai), perusahaan memproduksi apa yang diinginkan
oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataannya keinginan sebagian besar
masyarakat (yang miskin dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena
mereka tidak dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam pasar.
(d)
Argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif (“manajer
seharusnya mengabdikan diri mereka pada pencarian laba terfokus”) dengan dasar
standar moral yang diasumsikan, namun belum terbukti (“orang hendaknya
melakukan apa pun yang akan menguntungkan mereka yang berpartisipasi dalam
pasar”). Dengan demikian, meskipun argumen itu berusaha menunjukkan bahwa etika
bukan suatu masalah, argumen tersebut hanya dapat melakukannya dengan
mengasumsikan standar moral yang belum terbukti yang setidaknya tampak salah.
Argumen kedua kadang
diajukan untuk menunjukkan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar
laba mereka dan mengabaikan pertimbangan etis yang disebut “argumen dari agen yang loyal” (“loyal agent’s argument”). Argumen tersebut dapat disedarhanakan adalah sebagai berikut:
(a)
Sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya
ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keahlian agen).
(b)
Majikan ingin dilayani dengan cara apa pun yang memajukan
kepentingannya sendiri.
(c)
Dengan demikian, sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer
mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apa pun yang
memajukan kepentingannya.
Argumen ini dapat, dan selalu, digunakan untuk membenarkan perilaku tidak
beretika atau tidak legal (unethical or
iilegal conduct) manajer.
Argumen agen yang loyal mengandalkan beberapa asumsi yang dapat
dipertanyakan:
(a)
Argumen itu
berusaha memperlihatkan bahwa etika bukan suatu masalah, yaitu dengan
mengasumsikan standar moral yang tidak terbukti (“manajer harus mengabdi kepada majikannya dengan cara apa pun yang
diinginkan majikannya”). Namun, tidak ada alasan untuk mengasumsikan bahwa
standar moral ini diterima sebagaimana adanya, beberapa alasan untuk memikirkan
bahwa standar moral diterima hanya jika memenuhi kualifikasi secara tepat
(misalnya, “manajer harus melayani majikannya dengan jalan moral dan legal apa pun
yang diinginkan majikannya”).
(b)
Argumen agen
yang loyal mengasumsikan bahwa tidak ada batasan kewajiban manajer melayani
majikannya, namun kenyataannya batas semacam itu diekspresikan oleh institusi
legal dan sosial dari mana kewajiban tersebut muncul. Kewajiban agen
didefiniskan oleh apa yang disebut hukum agensi (the law of agency) (misalnya, hukum yang menentukan kewajiban
orang – “agent” – yang setuju untuk
bertindak demi pihak lain dan yang diberi kewenangan – “principle”). Pengacara, manajer, insinyur, palang saham, dan
sebagainya semua bertindak sebagai agen untuk majikan mereka. Dengan secara
bebas menyepakati perjanjian untuk bertindak sebagai agen seorang majikan,
seseorang kemudian menerima kewajiban legal (dan moral) untuk mengabdi dengan
loyal, taat, dan secara pribadi seperti ditentukan dalam hukum agensi. Akan
tetapi, hukum agensi menyatakan bahwa “dalam menentukan apakah perintah klien
kepada agen masuk akal atau tidak.....etika bisnis atau profesional harus
dipertimbangkan”, dan, “dalam peristiwa apa pun dinyatakan bahwa agen mempunyai
kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis.”
Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi
oleh batasan-batasan moralitas, karena dengan pemahaman tersebutlah maka
kewajibannya sebagai agen yang loyal didefinisikan.
(c)
Argumen agen
yang loyal mengasumsikan bahwa jika manajer setuju untuk mengabdi kepada
perusahaan, maka persetujuan tersebut secara otomatis membenarkan apa pun yang
dilakukan manajer demi perusahaan. Bagaimanapun, asumsi ini salah. Persetujuan
untuk mengabdi orang lain tidak secara otomatis membenarkan tindakan yang salah
demi mereka. Misalnya, jelas salah jika saya membunuh orang tak berdosa demi
kepentingan saya sendiri. Anggaplah suatu ketika saya sepakat untuk mengabdi
pada kepentingan Anda dan ternyata kepentingan Anda mengharuskan saya membunuh
orang tidak berdosa demi Anda. Apakah persetujuan tersebut dengan demikian
dapat membenarkan tindakan saya membunuh orang tidak berdosa? Jelas tidak dapat
karena persetujuan tidak mengubah karakteristik moral dari tindakan yang salah.
Jika tindakan itu secara moral salah, maka, meskipun manajer tidak melakukannya
demi kepentingan sendiri, dia secara moral salah karena melakukan tindakan itu
demi kepentingan perusahaan meskipun dia telah sepakat untuk mengabdi
perusahaan. Asumsi agen yang loyal dengan demikian keliru.
Argumen
ketiga ditegakkan
untuk menentang penerapan etika ke dalam bisnis. Ada keberatan bahwa untuk
menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekadar menaati hukum. Etika
bisnis pada dasarnya adalah menaati hukum. If it is legal, then it is ethical. Misalnya,
ketika seorang akuntan diminta untuk mempersiapkan laporan etika bisnis kepada
dewan direksi PT ABC, laporannya tidak memasukkan pernyataan bahwa manajer toko
berusaha menyuap petugas pajak. Ketika ditanya mengapa usaha penyuapan tersebut
tidak dimasukkan dalam laporan, dia menjawab bahwa dia tidak merasa kejadian
itu tidak etis karena kejadian itu bukan ilegal, yang menyiratkan bahwa tidak
legal (illegal) dan tidak etis (unethical) sama saja. [8]
Adalah salah, bagaimanapun,
memandang hukum dan etika adalah identik. Benar bahwa hukum tertentu menuntut perilaku
yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Contohnya hukum yang melarang
pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, penipuan dan lain sebagainya. Dalam kasus
semacam ini, hukum dan moralitas serupa, dan kewajiban untuk menaati hukum itu
sama dengan kewajiban untuk menjadi bermoral. Namun demikian, hukum dan moral
tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak mempunyai kaitan dengan moralitas karena
tidak melibatkan masalah – masalah yang serius. Hukum ini meliputi
hukum tentang parkir, cara berpakaian, dan hukum lainnya yang kejadiannya sama. Namun tidak berarti etika
tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar moral kadang dimasukkan ke dalam
hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral harus ditegakkan
dengan kekuatan sistem hukum. Sebaliknya, hukum dikritik dan dihapus ketika
jelas-jelas melanggar standar moral. Standar moral menentang penyuapan dalam
bisnis, misalnya, telah dimasukkan ke dalam Foreign
Corrupt Practice Act. (Undang-undang Praktik Korupsi, di AS) [9] dan hukum yang mengizinkan perbudakan—jelas tidak adil dan harus
dihapus. Moralitas, dengan demikian, dibentuk dan dipengaruhi oleh banyak hukum
yang kita miliki.
Lagipula, sebagian besar ahli
etika setuju bahwa semua warga negara mempunyai kewajiban moral menaati hukum
sejauh hukum jelas-jelas tidak mengharuskan perilaku yang tidak adil. Ini
berarti, dalam sebagian besar kasus, melanggar hukum itu tidak bermoral.
Namun, tragisnya kewajiban menaati hukum
dapat menciptakan konflik yang parah ketika hukum yang mengharuskan sesuatu
yang dipercaya pebisnis adalah tidak bermoral. Dalam kasus seperti itu,
seseorang akan menghadapi konflik antara kewajiban menaati hukum dan kewajiban
menaati nuraninya.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa keberatan atau argumentasi untuk menerapkan
etika dalam bisnis adalah: (1) Dalam ekonomi pasar bebas, pencarian laba akan
meyakinkan adanya manfaat sosial masyarakat yang maksimum, (2) Kewajban yang
sangat penting dari manajer adalah untuk perusahaan, dan (3) Etika bisnis
adalah dibatasi untuk mematuhi hukum.
2) Argumen yang Mendukung Penerapan Etika dalam Bisnis
Pendapat sebaliknya mengatakan bahwa etika hendaknya diterapkan
dalam bisnis. Salah satu berpendapat bahwa etika harus diterapkan dalam bisnis, karena etika harus mengatur semua aktivitas manusia secara sukarela/sengaja (voluntary human activities) , dan karena
bisnis merupakan aktivitas manusia dilakukan secara sukarela, etika
hendaknya juga berperan dalam bisnis. Pendeknya, tidak ada sesuatu pun dalam
bisnis yang mencegah kita menerapkan standar etika yang sama terhadap aktivitas
bisnis yang seharusnya diterapkan pada semua aktivitas manusia yang disengaja.
Argumen lain
menyatakan bahwa aktivitas bisnis, seperti
aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam
bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis
merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku etis.
(a)
Individu
bisnis mana pun akan bangkrut jika semua manajer, karyawan, dan pelanggannya
berpikir bahwa secara moral diperbolehkan mencuri dari, berbohong kepada dan
melanggar perjanjian dengan perusahaan. Karena tidak ada bisnis dapat bertahan
sepenuhnya tanpa etika, tujuan bisnis paling tidak memerlukan ketaatan minimal
terhadap etika dari mereka yang terlibat dalam bisnis.
(b)
Semua
bisnis memerlukan masyarakat yang stabil untuk melaksanakan kesepakatan bisnis.
Namun stabilitas masyarakat mana pun menuntut anggotanya untuk taat pada
standar etika minimal tertentu. Dalam masyarakat
tanpa etika (menurut ahli filsafat, Hobbes), suatu ketika menulis bahwa, ketidakpercayaan
dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan “perang antar manusia
terhadap manusia lain,”
(“a war
of every man against every man”) dan
dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi “kotor, brutal, dan dangkal.” (“nasty, brutish,
and short”) Karena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka
kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etis kepada
anggota dan juga masyarakat luas.
Cara
persuasif lain berpendapat bahwa
pertimbangan etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dengan pencarian
laba. Namun dengan menunjukkan perusahaan-perusahaan individual di mana etika
hidup berdampingan dengan pencarian laba, tidak sepenuhnya memperlihatkan bahwa
etika konsisten dengan pencarian laba. Banyak faktor kesempatan mempengaruhi
profitabilitas. (kapasitas berlebih, resesi, pola cuaca, tingkat bunga, selera konsumen
yang berubah, dan sebagainya). Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan tersebut
tidak lebih dari sedikit perusahaan di mana secara kebetulan etika sejalan
dengan laba selama periode waktu tertentu. Apakah ada bukti bahwa etika dalam
bisnis secara sistematis berkorelasi dengan profitabilitas? Apakah perusahaan
yang etis lebih menguntungkan daripada perusahaan lainnya?
Akhirnya, terdapat banyak bukti bahwa sebagian besar orang juga akan
menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi
berperilaku tidak etis dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi
berperilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi
ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnisnya dan mengurangi minat
mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan proses pembuatan
keputusan perusahaan mereka tidak adil akan menunjukkan absentisme yang lebih
tinggi, perputaran
karyawan yang lebih tinggi, produktivitas yang lebih rendah, dan tuntutan
upah yang lebih tinggi. Sebaliknya, bila karyawan merasa bahwa proses pengambilan keputusan
organisasi adil, maka akan menunjukkan tingkat perputaran karyawan dan
absentisme yang rendah, menunjukkan tingkat kepercayaan dan komitmen yang
tinggi terhadap organisasi dan manajemen, dan tuntutan upah yang lebih rendah.
Jika karyawan percaya bahwa suatu organisasi adil, mereka akan rela mengikuti
manajer organisasi, melakukan apa yang dikatakan manajer, dan melihat
legitimasi kepemimpinan manajer. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif
Dengan demikian, terdapat sejumlah argumen
yang kuat untuk mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam
bisnis, yaitu (1) Etika diterapkan terhadap semua aktivitas manusia, (2)
Perusahaan-perusahaan tidak akan hidup (survive)
tanpa etika, (3) Etika adalah konsisten dengan pencarian laba (profit seeking), dan (4) Pelanggan dan
pegawai peduli terhadap etika.
8.
Tanggung Jawab dan Kesalahan Moral
Penalaran moral (moral
reasoing) mengacu pada proses penilaian di mana perilaku, institusi, atau
kebijakan dinilai sesuai dengan atau melanggar standar moral. Penalaran moral
selalu melibatkan tiga komponen
mendasar: (a) pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan,
oleh standar moral yang masuk akal; (b) bukti atau informasi yang menunjukkan
bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku tertentu mempunyai ciri-ciri
standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau menyalahkan, dan (c) suatu
simpulan atau penilaian moral bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku
yang dilarang atau diperlukan, benar atau salah, adil atau tidak adil.
Penilaian moral, dengan demikian, kadang diarahkan kepada
jenis penilaian yang berkaitan namun berbeda; menentukan apakah seseorang
bertanggung jawab secara moral atau dapat disalahkan karena melakukan sesuatu
yang salah atau karena merugikan orang lain. Penilaian tentang tanggung jawab moral
seseorang atau kerugian yang ditimbulkannya merupakan penilaian tentang sejauh
mana seseorang pantas disalahkan atau dihukum, atau harus membayar ganti rugi.
Istilah tanggung
jawab moral (moral responsibility)
kadang digunakan dalam arti “kewajiban
moral” (“moral obligation”) atau “tugas
moral” (“moral duty”). Istilah
tanggung jawab moral kadang juga digunakan untuk mengekspresikan bahwa
seseorang disalahkan karena sebuah tindakan. Jadi istilah bertanggung jawab
secara moral dengan maksud “menyalahkan” (“blame”).
Orang tidak selalu bertanggung jawab secara moral terhadap tindakan yang
salah atau yang merugikan. Seseorang, misalnya, mungkin menyebabkan kerugian
terhadap manusia yang tidak berdosa, namun melakukannya tanpa mengetahui apa
yang dia kerjakan (mungkin dia melakukannya secara kebetulan). Apa yang dilakukan
orang itu salah, tetapi orang itu “dimaafkan” karena ketidaktahuannya. Jadi
kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab—atau disalahkan—karena
melakukan sesuatu? Pandangan tradisional dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Seseorang secara moral bertanggung jawab atas kesalahannya jika orang tersebut menyebabkan
(caused) kesalahan dan melakukannya
dengan sadar dan bebas (knowlingly and
freely).
Secara ringkas, karakteristik bahwa sesorang secara moral bertanggung jawab
atas kesalahan atau yang merugikan jika:
(a)
Seseorang
tersebut menyebabkan atau membantu menyebabkan suatu kesalahan, atau gagal mencegahnya ketika dia seharusnya
dapat mencegahnya;
(b)
Seseorang
tersebut melakukannya dengan sadar apa yang sedang dilakukannya; dan
(c)
Seseorang tersebut
melakukannya sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Misalnya, Stefan Golab , imigran Polandia berusia 59
tahun yang tidak fasih berbahasa Inggris, tewas karena keracunan sianida
setelah bekerja selama 2 bulan di atas tangki terbuka yang menyemprotkan sianida
untuk Film Recovery Systems, sebuah
perusahaan yang mengganti perak pada film usang. Dalam kasus terkenal itu,
Steven O’Neil, pimpinan perusahaan, Charles Kirschbaum, supervisor pabrik, dan
Daniel Rodriguez, orang penting pabrik, diputuskan bertanggung jawab oleh
pengadilan atas kematian Golab dengan tuduhan pembunuhan. Putusan itu
didasarkan pada kesaksian para manajer yang membiarkan kondisi kerja membahayakan yang mengetahui ancaman
bahaya seperti Golab yang tidak fasih berbahasa Inggiris dan mereka
menghilangkan simbol bahaya tengkorak bersilang tulang dari drum-drum sianida.
Dengan demikian, mereka secara moral bertanggung jawab atas kematian Golab
karena (a) mereka menciptakan kondisi yang membahayakan yang menyebabkan
kematiannya atau paling tidak mereka gagal mencegah kematiannya ketika mereka
seharusnya dapat melakukan pencegahan sedemikian rupa; (b) dari bukti
kesaksian, mereka “mengetahui kemungkinan membahayakan keselamatan” yang
diakibatkan oleh tindakan mereka; dan (c) mereka bertindak dengan sengaja dan
melakukan tindakan mereka secara bebas.
Jadi, tanggung jawab moral atas perbuatan merugikan atau kesalahan,
mensyaratkan tiga hal: (1) seseorang menyebabkan atau gagal untuk mencegah
perbuatan yang merugikan atau kesalahan ketika seseorang dapat dan seharusnya
dapat melakukan pencegahan, (2) seseorang harus mengetahui apa yang sedang dia
dilakukan, dan (3) seseorang harus bertindak secara bebas/kehendak sendiri.
Misalnya, beberapa
pabrikan asbes baru-baru ini dinilai bertanggung jawab atas penyakit
paru-paru yang diderita para pekerja. Penilaian ini didasarkan pada temuan
bahwa pabrikan mempunyai kewajiban khusus (kewajiban yang mereka miliki karena
posisi mereka) untuk memperingatkan pekerja tentang bahaya mengerjakan asbes
yang telah mereka ketahui, tetapi mereka dengan sengaja gagal melaksanakan
kewajiban ini, dan penyakit pernafasan merupakan bahaya yang telah diketahui
yang seharusnya dapat mereka cegah sebagaimana seharusnya mereka lakukan sebagai
kewajiban mereka. Dalam pembelaan mereka, pabrikan asbes membantah bahwa
penyakit paru-paru yang diderita pekerja bukan disebabkan mengerjakan asbes,
tetapi karena merokok. Pabrikan lain mengatakan bahwa mereka tidak
mengetahui bahwa kondisi dalam pabrik mereka menyebabkan kanker paru-paru para
pekerja. Dan bahkan pabrikan yang lain
mengatakan mereka tidak dapat secara bebas mencegah kesalahan tersebut dengan mencoba
menyuruh pekerja mereka mengenakan masker dan pakaian pelindung, tetapi mereka
menolaknya dan dengan demikian mereka menderita penyakit yang disebabkan pabrikan
tidak dapat melakukannya karena lingkungan yang tidak dapat mereka kendalikan.
Jika klaim ini benar, maka pabrikan
secara moral tidak bertanggung jawab atas penyakit paru-paru para pekerja.
Adalah penting untuk memahami tiga kondisi tersebut dengan baik untuk
menilai apakah suatu pihak secara moral bertanggung jawab atas sesuatu. Persyaratan pertama atas tanggung jawab
moral, adalah seseorang harus yang menyebabkan
kerugian atau kesalahan maupun gagal mencegahnya ketika dia seharusnya dapat melakukannya
(tindakan seperti ini disebut “commission”).
Tetapi adalah tidak mudah ketika suatu pihak menyebabkan kerugian atau
kesalahan karena semata-mata gagal mencegahnya (kelalaian ini disebut “omissions”).
Misalnya, Nike, perusahaan sepatu atletik,
telah menjadi pusat kontroversi atas tanggung jawabnya karena perlakuan yang
salah terhadap para pekerja yang membuat sepatu. Nike sesungguhnya tidak
membuat sepatu atletik yang dijualnya. Sebaliknya, Nike mendesain sepatunya di
Seattle, Washington, dan kemudian membayar perusahaan-perusahaan di negara
berkembang untuk membuat sepatu sesuai desainnya. Perusahaan-perusahaan rekanan
luar negeri ini (di China, Indonesia, India, dan lain-lain) secara langsung
memperlakukan secara salah dan mengeksploitasi pekerja mereka. Nike mengklaim
bahwa mereka secara moral tidak bertanggung jawab atas perlakuan yang salah
karena kerugian/penderitaan yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mereka kontrak, sehingga
dengan sendirinya Nike secara tidak langsung menyebabkan kerugian. Nike
seharusnya dapat mencegah kerugian ini dengan memaksa rekanan-rekanannya untuk
memperlakukan para pekerja secara manusiawi. Jika hal ini benar, Nike mempunyai kekuasaan untuk mencegah
kerugian tersebut, dan seharusnya dapat mencegahnya sedemikian rupa, maka Nike
memenuhi kondisi pertama atas tanggung jawab moral. Tetapi jika Nike benar-benar
kurang memiliki kekuasaan untuk mencegah kerugian ini – jika Nike tidak
memiliki pengendalian atas tindakan para rekanannya – maka Nike tidak memenuhi kondisi pertama.
Perhatikan bahwa kondisi pertama mengatakan bahwa seseorang secara moral bertanggung
jawab atas kerugian jika mereka gagal mencegahnya, hanya jika mereka “seharusnya
mampu” mencegahnya.
Persyaratan kedua atas tanggung jawab moral ini adalah: Orang
harus mengetahui apa yang sedang dia lakukan. Hal ini berarti bahwa jika
seseorang lalai (tidak mengetahui) suatu fakta bahwa tindakannya akan merugikan
pihak lain, maka dia tidak bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Seseorang mungkin lalai (tidak mengetahui)
fakta yang relevan maupun standar moral yang relevan. Misalnya, saya mungkin
yakin bahwa penyuapan itu salah (sebuah standar moral), tetapi mungkin juga
tidak menyadari bahwa ketika memberi tips pegawai bea cukai saya sebetulnya
menyuap dia untuk membatalkan biaya impor tertentu (sebuah fakta). Sebaliknya, saya mungkin betul-betul tidak
tahu bahwa menyuap pegawai pemerintah adalah salah (sebuah standar moral),
meskipun saya tahu ketika memberi tips pegawai bea cukai saya menyuapnya untuk
mengurangi biaya yang terutang (sebuah fakta). Jika saya benar-benar tidak tahu
bahwa yang sedang saya lakukan adalah salah, maka saya secara moral tidak
bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Ketidaktahuan tentang fakta biasanya
menghilangkan tanggung jawab moral secara menyeluruh karena alasan sederhana
bahwa seseorang tidak dapat diwajibkan melakukan sesuatu yang tidak dapat
dikendalikan. Karena orang tidak dapat mengendalikan hal-hal yang tidak mereka
ketahui, mereka tidak dapat mempunyai tanggung jawab moral apa pun yang
berkaitan dengan persoalan semacam itu, dan tanggung jawab moral mereka
terhadap persoalan semacam itu akibatnya tidak ada.
Persyaratan ketiga atas tanggung jawab moral adalah seseorang
harus bertindak secara bebas (sesuai dengan keinginannya). Seseorang bertindak
secara bebas (free will) ketika
seseorang bertindak dengan sengaja dan tindakannya bukan merupakan akibat dari
tekanan internal atau tekanan eksternal yang tidak dapat dikendalikan. Dengan
kata lain, seseorang bertindak sesuai dengan keinginannya bila dia memilih
melakukan sesuatu dengan suatu alasan atau tujuan dan tidak terpaksa
melakukannya akibat kekuatan internal atau eksternal yang tidak dapat
dikendalikannya. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan
atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak; seseorang mungkin secara fisik
terhalang atau tidak dapat bertindak; atau pikiran orang secara psikologis
cacat sehingga mencegahnya mengendalikan tindakannya. Seorang manajer yang
bekerja dengan lingkungan yang penuh tekanan, misalnya, mungkin begitu tegang
sehingga suatu ketika dia marah kepada bawahannya dan tidak dapat mengendalikan
tindakannya terhadap bawahannya itu. Dalam kasus ini, seseorang secara moral
tidak bertanggung jawab atas kesalahan atau kerugian sebagai akibat
ketidakmampuan seseorang mengendalikan kejadian-kejadian. Sejauh lingkunagn
menyababkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah
kerugian tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai kesimpulan, seseorang secara moral tidak bertanggung jawab atas suatu kesalahan atau kerugian jika
salah satu dari ketiga ini tidak ada:
(a)
Seseorang
tidak menyebabkan dan tidak dapat mencegah suatu kesalahan atau kerugian, atau
(b)
Seseorang
tidak mengetahui dia yang menyebabkan atau menimbulkan suatu kesalahan atau kerugian, atau
(c)
Seseorang
tidak menyebabkan kesalahan atau
kerugian sesuai dengan kehendaknya sendiri (kebebasan).
Walaupun tidak ada salah satu dari tiga persyaratan ini akan sepenuhnya
menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan ada juga beberapa
“faktor – faktor yang meringankan” (“mitigating factors”) tanggung jawab moral seseorang tergantung pada kejelasan kesalahan.
Faktor-faktor yang meringankan mencakup:
(a)
Lingkungan
yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang
dalam sebuah tindakan itu (ini memengaruhi tingkatan sampai di mana seseorang
bebar-benar menyebabkan atau membantu menyebabkan kerugian)
Tanggung jawab seseorang dapat juga diperingan oleh lingkungan yang
mengurangi keterlibatan aktif seseorang dalam tindakan yang menyebabkan
kerugian. Seorang insinyur dapat berperan menghasilkan produk yang tidak aman,
misalnya, secara sadar menggambar desain yang tidak aman dan dengan demikian
secara aktif terlibat dalam sesuatu yang menyebabkan kerugian di masa
mendatang. Sebaliknya, seorang insinyur dapat menyadari ciri-ciri desain orang
lain yang tidak aman, namun secara pasif tidak melakukan apa pun mengenai hal
tersebut karena “itu bukan pekerjaan saya.” Dalam kasus seperti itu, seorang
insinyur tidak secara aktif terlibat sesuatu yang menyebabkan kerugian di masa
mendatang. Namun demikian, jika seseorang mempunyai tugas khusus (yang secara
resmi ditugaskan kepadanya) untuk melaporkan atau mencegah tindakan yang
keliru, maka orang itu secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang dia
laporkan atau diusahakannya untuk dicegah. Jika tidak maka orang tersebut
terlibat dalam tindakan tersebut. Seorang akuntan, misalnya, yang digaji untuk
melaporkan aktivitas tidak jujur yang teramati tidak dapat meminta keringanan
tanggung jawab atas sebuah kebohongan yang secara sadar gagal untuk
dilaporkannya dengan menunjukkan bahwa ia tidak terlibat secara aktif dalam
tindakan yang tidak jujur itu.
(b)
Lingkungan
yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa
yang sedang dia lakukan (hal tersebut memengaruhi penegtahuan seseorang)
Lingkungan dapat menyebabkan ketidakpastian tentang beragam permasalahan.
Seseorang mungkin secara jujur diyakinkan bahwa melakukan sesuatu adalah salah,
namun mungkin masih ragu tentang beberapa fakta penting, atau ragu tentang
standar moral yang tercakup atau ragu seberapa serius kesalahan dari tindakan
itu. Misalnya, seorang pegawai yang diminta menyampaikan informasi kepada
seorang pesaing mungkin merasa yakin bahwa melaksanakannya adalah keliru,
tetapi mungkin juga mempunyai ketidakpastian mengenai seserius apa persoalan
itu. Ketidakpastian semacam itu dapat memperingan tanggung jawab seseorang atas
tindakan yang salah.
(c)
Lingkungan
yang menyulitkan namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal
ini memengaruhi kebebasan seseorang)
Seseorang mungkin sulit menghindari serangkaian tindakan tertentu karena
dia merasa terancam atau tertekan atau karena menghindari tindakan itu akan
sangat mahal harganya untuk orang tersebut. Manajer tingkat menengah, misalnya,
kadang sangat ditekan atau diancam oleh atasan mereka untuk mencapai target
produksi yang tidak realistis. Jika tekanan pada manajer cukup besar, maka
tanggung jawab mereka juga hilang. Meskipun mereka disalahkan karena
kekeliruan, kesalahan mereka diperingan (mereka yang dengan sadar dan bebas
menekan bawahannya yang dapat dianggap menyebabkan tindakan yang salah juga
bertanggung jawab terhadap tindakan yang salah).
(d)
Keseriusan
kesalahan
Cakupan sejauh mana ketiga lingkungan yang meringankan ini dapat
memperkecil tanggung jawab seseorang, tergantung pada tingkat keseriusan
kesalahan. Misalnya, jika melakukan sesuatu yang sangat keliru, maka tekanan
yang berat dan keterlibatan minimal secara substansial tidak mengurangi
tanggung jawab seseorang atas tindakan itu. Jika majikan saya, misalnya,
mengancam memecat saya kecuali jika saya menjual produk yang digunakan yang
saya ketahui akan membunuh seseorang, malah jika saya mematuhinya meskipun
kehilangan pekerjaan merupakan taruhan yang mahal bagi saya. Namun demikian,
jika hanya masalah relatif lebih kecil yang terjadi, maka ancaman kehilangan
pekerjaan secara substansial akan mengurangi tanggung jawab saya.
Berikut ini ikhtisar hal-hal yang mendasar dari diskusi
tentang tanggung jawab moral individu atas kesalahan atau kerugian ini:
Pertama, secara moral individu bertanggung
jawab jika (1) seseorang menyebabkan kerugian atau gagal mencegahnya ketika dia
dapat dan seharusnya dapat mencegahnya, (2) seseorang mengetahui apa yang
sedang dilakukannya, dan (3) seseorang bertindak sesuai dengan keinginannya.
Kedua, tanggung jawab moral sepenuhnya dapat dihilangkan (dimaafkan) jika tidak
ada salah satu dari unsur-unsur tersebut. Ketiga, tanggung jawab moral atas
kesalahan atau kerugian dapat dimitigasi oleh (a) bobot keterlibatan yang kecil
(meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus
untuk mencegah kesalahan), (b) ketidakpastian, dan (c) kesulitan, namun cakupan
sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang
tergantung pada keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin besar
keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor tersebut dapat memperingan.
1) Tanggung Jawab Korporasi
Di dalam korporasi, tanggung jawab atas
tindakan korporasi sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja
sama. Tindakan korporasi biasanya terdiri atas tindakan atas atas kelalaian
(omissions) orang-orang yang berbeda
yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama
menghasilkan tindakan korporasi bersama. Misalnya, sebuah tim manajer mendesain
sebuh mobil, tim lain mengujinya, dan tim ketiga membuatnya, satu orang memberi
perintah, memberi saran, atau memastikan sesuatu, yang lainnya melaksanakan
perintah, saran dan kepastian tersebut; satu kelompok membohongi pembeli dan
kelompok lainnya tahu namun diam-diam menikmati keuntungannya; satu orang
menunjukkan caranya dan orang yang lain melaksanakannya; satu kelompok melakukan
kesalahan dan kelompok lainnya menyembunyikan kesalahan itu.
Siapakah yang
bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu? Pandangan
tradisional berpendapat bahwa mereka yang melaksanakan secara sadar dan bebas (knowingly and freely) apa yang diperlukan untuk menghasilkan tindakan korporasi,
masing-masing secara formal bertanggung jawab. Dalam pandangan ini, situasi di
mana seseorang memerlukan tindakan orang lain untuk melaksanakan tindakan
korporasi yang keliru, secara prinsip tidak berbeda dengan situasi di mana
seseorang memerlukan lingkungan eksternal untuk melakukan kesalahan.
Misalnya, jika saya menembak orang lain yang
tidak bersalah, saya harus yakin pistol saya meletus (lingkungan eksternal).
Jika saya ingin menipu pemegang saham korporasi, saya meyakinkan orang lain
untuk ikut serta dalam penipuan itu. Saya dapat menyebabkan kerugian hanya
dengan memastikan sesuatu atau orang lain selain diri saya sendiri. Dalam kedua
kasus itu, jika saya dengan sengaja dan secara bebas berusaha untuk melakukan
penipuan, maka saya sama-sama bertanggung jawab secara moral atas kerugian
tersebut. Melakukan tindakan keliru dengan bantuan orang lain, dengan demikian,
tidak berbeda dalam cara yang signifikan secara moral dari melakukan tindakan keliru
yang disengaja dengan instrumen yang tidak bernyawa; orang secara penuh
bertanggung jawab atas kesalahan atau kerugian bahkan jika tanggung jawab
tersebut ditanggung bersama dengan orang lain. Jika, misalnya, sebagai anggota
dewan direksi sebuah korporasi, dengan pengetahuan yang cukup dan kebebasan
penuh, saya bertindak berdasarkan informasi dalam memilih opsi saham yang akan
menguntungkan saya, namun secara tidak adil merugikan pemegang saham lainnya,
amak saya bertanggung jawab atas tindakan dewan direksi yang keliru bahkan jika
saya berbagi tanggung jawab dengan anggota lainnya. Dengan pilihan saya, saya
mencoba melakukan tindakan korporasi yang ilegal dan saya melakukannya dengan
sengaja dan dengan bebas.
Pandangan
lain tentang tanggung jawab individual atas tindakan korporasi menyatakan bahwa
ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti korporasi bertindak bersama-sama,
tindakan korporasi mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan,
konsekuensinya, tindakan kelompokklah, bukan tindakan individual, yang
mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Misalnya,
umumnya kita meyakini bahwa pabrik pembuat mobil yang tidak sempurna merupakan
tanggung jawab korporasi yang membuatnya dan bukan individu insinyur yang
bekerja di pabrik itu. Hukum biasanya membebankan tindakan manajer korporasi
kepada korporasi (sejauh manajer bertindak dalam otoritas mereka) dan bukan
manajer sebagi individual. Namun, meskipun kita kadang membebankan tindakan
tindakan kepada kelompok korporasi, fakta legal dan linguistik tersebut tidak
mengubah realistas moral di balik semua tindakan korporasi itu: Individu harus
melaksanakan tindakan tertentu yang menghasilkan tindakan korporasi. Karena
individu secara moral bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan bebas mereka
yang telah diketahui dan disengaja, individu mana pun yang bergabung secara
suka rela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud
menghasilkan tindakan korporasi, secara moral akan bertanggung jawab atas
tindakan itu.
2) Tanggung Jawab Bawahan
Dalam sebuah korporasi, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah
atasan mereka. Korporasi biasanya memiliki struktur otoritas hierarkis di mana
perintah dan arahan berlangsung dari struktur yang lebih tinggi ke beraganm agen
pada level yang lebih rendah. Seorang wakil direktur menatakan kepada beberapa
manajer menengah bahwa mereka harus mencapai tujuan produksi tertentu dan para
manajer menengah berusaha untuk mencapainya. Manajer pabrik memberitahu para
mandor untuk menutup lini produk
tertentu dan mereka melakukannya. Seorang insinyur mengatakan kepada
juru tulis untuk menulis kaporan tertentu dan dia melakukannya. Siapakah yang
secara moral bertanggung jawab ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya (subordinate) untuk melaksanakan tindakan yang merka tahu
salah.
Orang kadang berpendapat bahwa ketika seorang bawahan bertindak sesuai
dengan perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab
atas tindakan itu; Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas
tindakan yang keliru, bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukakannya.
Misalnya, para manajer pabrik semikonduktor nasional memerintahkan karyawannya
untuk menulis laporan pemerintah yang secara bohong menyatakan bahwa komponen
komputer tertentu yang dijual kepada pemerintah menjalani uji kelayakan.
Beberapa karyawan keberatan, namun ketika manajer bersikeras, karyawan menaati
perintah mereka. Ketika laporan yang dipalsukan itu diketahui, manajer
bersikeras bahwa hanya perusahaan sebagai keseluruhan yang harus bertanggung
jawab atas laporan yang dipalsukan itu. Tak satu pun individu karyawan yang
harus bertanggung jawab secara moral, bantah mereka, sebab masing-masing
karyawan sekadar agen yang mengikuti perintah.
Jelaslah keliru, bagaimana pun memikirkan bahwa karyawan yang secara bebas
dan sengaja/sadar (freely and knowingly)
melakukan sesuatu yang salah, dibebaskan dari semua tanggung jawab ketika dia
“mengikuti perintah.” (“following order”).
Tanggung jawab moral menuntut bahwa seseorang bertindak secara bebas dan sadar
untuk mengikuti perintah. Misalnya, jika saya diperintah atasan untuk membunuh
pesaing dan saya melakukannya, saya tidak dapat menyatakan bahwa saya
sepenuhnya tidak bersalah karena saya sekadar “mengikuti perintah.” Fakta bahwa
atasan menyuruh sya melaksanakan apa yang saya ketahui sebagai tindakan tidak
bermoral tidak dapat mengubah apa pun mengenai fakta bahwa dalam melaksanakan
tindakan itu saya tahu bahwa saya melakukannyadan bagaimanapun dengan bebas
memilih melakukan hal itu dan karena itu saya bertanggung jawab atas tindakan
itu. Sebagaimana dalam “argumen agen yang loyal,” (“loyal agent’s argument”) ada batas-batas kewajiban karyawan untuk
menaati atasannya: Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk menaati
perintah melakukan apa pun yang tidak bermoral. Tentu, atasan dapat melakukan
tekanan ekonomi yang signifikan terhadap seorang karyawan dan tekanan semacam
itu dapat meringankan tanggung jawab karyawan, tetapi tekanan tersebut tidak
sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk
melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung
atas tindakan yang mereka ketahui salah. Apakah atasan juga bertanggung jawab
secara moral? Jelas, atasan juga bertanggung jawab secara moral karena dalam
memerintahkan karyawan, atasan dengan sadar dan bebas melakukan tindakan yang
salah dengan karyawan sebagai instrumen. Fakta bahwa atasan menggunakan manusia
untuk melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan
melakukannya.
In business the handshake is an expression of trust, and ethical behavior
is the foundation of trust
KASUS
Beberapa
tahun yang lalu, B.F. Goodrich, pabrikan komponen kendaraan pesawat terbang,
memenangkan kontrak militer untuk mendesain, menguji, dan memproduksi rem
pesawat A7D, sebuah pesawat baru yang sedang didesain Angkatan Udara. Untuk
mengonversi berat, Goodrich menjamin bahwa rem yang diproduksinya tidak
melebihi berat 106 pound, terdiri atas empat piringan kecil atau “rotor,” dan
mampu menghentikan pesawat dalam jarak tertentu. Kontrak tersebut secara
potensial sangat menguntungkan bagi perusahaan sehingga para manajer sangat berminat untuk menciptakan rem yang “bermutu,”
yaitu dengan sukses dapat lulus uji dan mampu menghentikan pesawat seperti yang
diharapkan. Kernit Vandivier, seorang
karyawan Goodrich, mendapatkan tugas untuk bekerja sama dengan para insinyur Goodrich, untuk membuat
laporan tentang uji rem tersebut, yang tidak akan dipermasalahkan oleh
pemerintah dan mungkin tidak perlu diulang. Namun sayang, tulis Vandivier
kemudian, ketika rem kecil itu diuji linings
pada permukaan rotor berulang kali “terhapus” sebab tidak terdapat luas
permukaan yang mencukupi untuk menghentikan pesawat sehingga menyebabkan panas
yang berlebih dan merusak lining. Supervisornya, meskipun demikian,
berkata kepadanya bahwa “tidak perduli apa yang terjadi pada rem ketika diuji,
kita tetap akan meloloskannya.” Setelah beberapa pengujian dilakukan, Vandivier
diminta menjelaskan kepada supervisornya bahwa, “laporan itu hanya dibuat
dengan memanipulasi data uji,” yang ditimpali oleh supervisornya bahwa “dia
sadar betul akan tuntutan yang harus dipenuhi, tetapi dia diperintahkan untuk
membuat laporan tertulis tidak peduli bagaimana atau apa yang telah terjadi.”
Dengan demikian, Vandivier harus memutuskan apakah dia ingin berpartisipasi
dalam mebuat laporan palsu. Dia kemudian berkomentar:
Pekerjaan saya bergaji besar, menyenangkan dan menantang,
dan masa depan tampak sangat cerah. Saya dan istri telah membeli rumah.....
Jika saya menolak ambil bagian dalam penipuan A7D, saya harus mundur atau
dipecat. Laporan mungkin akan dibuat oleh orang lain, namun saya akan
mendapatkan kepuasan dengan mengetahui bahwa saya tidak terlibat dalam hal itu.
Namun tagihan-tagihan tidak dibayar dengan kepuasan pribadi, begitu pula rumah
tidak dibayar dengan prinsip-prinsip etis. Saya membuat keputusan saya sendiri.
Paginya saya menelepon atasan saya
dan mengatakan kepadanya bahwa siap untuk mulai membuat laporan kualifikasi.
Ketika mengerjakan laporan, Vandivier berkata, dia
berbincang-bincang dengan eksekutif
senior yang ditugaskan di proyek itu dan bertanya kepadanya “apakah suara
hatinya akan mengusiknya bila hal tersebut menyebabkan tewasnya seorang pilot,
dan inilah yang dia katakan bahwa saya kuatir tentang banyak hal yang tidak
berkaitan dengan saya dan dia menasihati saya untuk “lakukan saja apa yang diperintahkan.”
[1] Istilah etika (ethics) pertama
sekali digunakan oleh Aristotle, berdasarkan ajaran Socrates. Etika merupakan
refleksi moral yang mencakup semua standar yang diperlukan masyarakat untuk
kehidupan yang baik dan patut.
[2] Pentingnya Etika Pribadi.
Keputusan ekonomi di dunia nyata akan memengaruhi
kehidupan seseorang, dan adalah hal yang paling menakutkan mengetahui sesorang memiliki kekuasaan seperti ini di
tangan mereka. Standar etika pribadi Anda
memiliki arti yang sangat penting.
[3] Norma (standar) yang berlaku dalam masyarakat dapat dibedakan dalam norma
umum dan norma khusus. Norma umum ini ada tiga, yaitu norma sopan santun (norma
etiket), norma moral, dan norma hukum.
[4] Norma sopan
santun (norma etiket) adalah aturan
mengenai perilaku lahiriah orang dalam kehidupan bermayarakat. Norma ini
merupakan norma sopan santun, misalnya menyangkut cara makan dan minum, cara
berpakaian, dan cara berbicara. Kepatuhan pada etiket tidak membuat atau
mengindikasikan seseorang bermoral. Sering orang terlalu mementingkan etiket
dan mengabaikan etika, bahkan sering ketaatan pada etiket ini digunakan untuk
menutupi permasalahan moral. Namun, hal ini tidak berarti bahwa etiket tidak
penting. Hanya perlu disadari bahwa etiket adalah norma yang mengatur perilaku
lahiriah dan tata krama bagi kenyamanan pergaulan antar manusia.
[5] Norma hukum adalah norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas
oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan
manusia dalam bermasyarakat. Keberlakuan norma hukum ini lebih tegas dan pasti
karena didukung dan dijamin oleh hukuman dan sanksi bagi pelanggarnya. Demikian
pula, berbeda dengan norma sopan santun (norma etiket) dan norma moral, norma
hukum selalu dikodifikasikan dalam bentuk tertulis yang dapat dijadikan
pegangan atau rujukan konkret bagi setiap anggota masyarakat baik dalam
berperilaku maupun dalam menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya. Hukum sebenarnya
adalah positivasi atau usaha mewujudkan norma moral secara tertulis. Dapat
dikatakan, norma moral sebagai menjiwai norma hukum, atau norma hukum adalah
usaha menuliskan norma moral. Dalam kenyataannya, sulit menjamin bahwa hukum
merupakan perwujudan norma moral. Hukum adalah produk politik, karena disusun
oleh kelompok masyarakat yang berkuasa secara politik dalam parlemen dan
pemerintah saat itu. Ketaatan terhadap norma hukum sedikit banyak mencerminkan
sikap dan kualitas pribadi pelakunya, namun ketaatan itu tidak dengan
sendirinya menentukan kualitas moral pelakunya. Ketidaktaatan pada hukum bukan
selalu berarti bahwa tindakan tersebut tidak bermoral.
Lingkup dari
norma hukum dan norma moral sama, yaitu menyangkut perilaku atau tindakan orang
yang dapat menimbulkan dampak yang dapat merugikan atau bermanfaat bagi manusia
dan keselamatan masayarakat. Walaupun berbeda dengan norma hukum, norma moral
diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap orang tanpa memperdulikan sanksi atau
hukuman, dan ditaati hanya karena nilai yang terkandung dalam norma itu.
[6] Selain etika deskrptif dan etika normatif, dikenal juga etika meta (meta ethics; analytical etihics). Etika
meta merupakan studi dari etika normatif, yang mempelajari penjelasan,
penilaian asumsi, dan investigasi
kebenaran dari argumentasi moral, misalnya apa yang diartikan dengan tanggung
jawab moral .
[7] Dalam kasus lain, Pengadilan AS menuduh E.F. Hutton Corporation melakukan
penipuan yang sempurna di mana karyawan menulis hitungan yang melebihi catatan
bank yang memungkinkan E.F. Hutton memperoleh bunga yang sebetulnya merupakan
milik bank. Kritikus kemudian mengklaim bahwa seharusnya Pengadilan menuduh
manajer E.F. Hutton per individu, bukan korporasi, karena korporasi tidak
melakukan kejahatan, melainkan oranglah yang melakukan kejahatan.
[8] Ethics and the Law: ethical and legal, unethical and
legal, ethical but illegal, unethical and illegal.
[9] Di Indonesia dikenal dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber : Bahan Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi, Monang Situmorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar