Jumat, 29 November 2013

TEORI HAK

TEORI HAK
1.    Pendahuluan
Pada dasarnya, pendekatan deontologi menyatakan bahwa tindakan benar atau baik dilakukan karena merupakan kewajiban moral seseorang untuk melakukannya. Selain kewajiban, maka aspek lain yang merupakan alasan bahwa suatu tindakan perlu dilakukan adalah karena merupakan hak asasi manusia. Teori hak merupakan aspek dari pendekatan deontologi, karena hak selalu berkaitan dengan kewajiban. Apa yang merupakan kewajiban bagi seseorang biasanya berarti juga hak bagi orang lain.  Dengan demikian, konsep tentang hak dan kewajiban korelatifnya merupakan inti dari wacana moral kita.
 Secara umum, hak (rights) adalah klaim kepemilikan individu atau sesuatu. Seseorang dikatakan memiliki hak jika dia memiliki klaim untuk melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu atau jika orang lain berkewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu kepadanya.
Hak bisa berasal dari sebuah sistem hukum yang memungkinkan atau mengizinkan seseorang untuk bertindak dalam suatu cara tertentu atau yang mewajibkan orang lain bertindak dalam suatu cara tertentu terhadapnya; inilah yang disebut hak hukum (legal right).  Hak juga bisa berasal dari sistem moral yang tidak tergantung pada sistem hukum tertentu. Hak untuk bekerja, misalnya, tidak dijamin oleh suatu konstitusi suatu negara tertentu, namun banyak yang menyatakan bahwa ini adalah hak yang dimiliki oleh semua negara. Hak-hak semacam ini yang disebut hak moral atau hak asasi manusia, didasarkan pada aturan dan prinsip-prinsip moral yang menegaskan bahwa manusia diizinkan atau diberi kewenangan untuk melakukan sesuatu atau berhak memiliki sesuatu. Tidak seperti hak hukum, hak moral tidak terbatas pada yurisdiksi tertentu. Jika manusia memiliki hak moral untuk tidak disiksa, misalnya, maka hak ini juga dimiliki oleh semua orang di dunia, apa pun sistem hukum di negara tempat mereka berada.

2.    Hak Moral  
Hak moral merupakan hak yang menetapkan larangan atau kewajiban pada orang lain yang memungkinkan seseorang untuk memilih dengan bebas apa pun kepentingn atau aktivitas yang akan dilakukannya. Hak-hak moral semacam ini memiliki tiga karakteristik penting yang memberikan fungsi “pemungkinan” dan “perlindungan.”
a)        Hak moral sangat erat hubungannya dengan kewajiban. Jadi,  hak moral memberikan kewajiban korelatif pada orang lain – baik itu kewajiban untuk tidak ikut campur tangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu yang positif.
b)        Hak moral memberikan otonomi dan kesetaraan bagi individu dalam mencari kepentingan-kepentingan mereka.
c)         Hak moral memberikan dasar untuk membenarkan tindakan yang dilakukan seseorang dan untuk melindungi atau membantu orang lain.
Dengan adanya ketiga karakteristik di atas, hak moral berarti memberikan dasar dalam membuat keputusan moral yang secara substansial berbeda dari standar-standar utilitarian. Pertama, hak moral mengharuskan adanya moralitas dari sudut pandang individu, sementara utilitarianisme mensyaratkan moralitas dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan. Standar-standar moral yang berkaitan dengan hak menunjukkan apa yang menjadi hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain, mendukung kesejahteraan individu, dan melindungi pilihan individu terhadap gangguan dari masyarakat. Sementara standar-standar utilitarian mendukung utilitas total dalam masyarakat, dan tidak mempertimbangkan kesejahteraan individu kecuali jika kesehtaraan tersebut berpengaruh pada seluruh masyarakat. Kedua, hak membatasi validitas acuan pada manfaat soasil. Dengan kata lain, jika seseorang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka salah apabila ada orang lain yang ikut campur, meskipun sebagian besar anggota masyarakat mungkin memperoleh utilitas lebih besar dari campur tangan itu. Jika para anggota kelompok minoritas memiliki hak atas kebebasan berbicara, maka kelompok mayoritas harus membiarkan kelompok minoritas tersebut bebas berbicara sekalipun sebagian nbesar anggota kelompok mayoritas mungkin sangat menantang apa yang mereka katakan. 

3.    Hak Negatif dan Positif
Hak negatif (negative rights) dapat digambarkan dari fakta bahwa hak-hak yang termasuk di dalamnya dapat didefinisikan sepenuhnya dalam kaitannya dengan kewajiban orang lain untuk tidak ikut campur dalam aktivitas-aktivitas tertentu dari orang yang memiliki hak tersebut. Contohnya, jika saya memiliki hak privasi, maka ini berarti semua orang, termasuk atasan saya, berkewajiban untuk tidak ikut campur dalam urusan atau aktivitas-aktivitas pribadi saya.  Jika saya punya hak untuk menggunakan, menjual, atau menghancurkan aset-aset bisnis pribadi saya, maka ini berarti semua orang lain berkewajiban untuk tidak mencegah saya untuk menggunakan, menjual, atau menghancurkan prperti bisnis pribadi saya.
Sebaliknya, hak positif (positive rights) tidak hanya memberikan kewajiban negatif, namun juga mengaplikasikan bahwa pihak lain (tidak selalu jelas siapa mereka) memiliki kewajiban positif pada si pemilik hak untuk memberikan apa yang dia perlukan untuk dengan bebas mencari atau mengejar kepentingan-kepentingannya. Contohnya, jika saya punya hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, maka ini tidak hanya berarti orang lain tidak boleh ikut campur, namun juga berarti jika saya tidak bisa memperoleh penghasilan yang layak, maka harus ada pihak lain (mungkin pemerintah) yang wajib memberikan pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Demikian juga, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh perawatan kesehatan, dan hak untuk memperoleh jaminan sosial merupakan hak yang tidak hanya mewajibkan orang lain untuk tidak ikut campur tangan, namun juga memberikan kewajiban positif pada mereka untuk memberikan apa yang tidak bisa diperoleh. 

4.    Hak dan Kewajiban Kontraktual
Hak dan kewajiban kontraktual (Contractual rights and duties) kadang disebut juga hak dan kewajiban khusus atau tugas khusus adalah hak terbatas dan kewajiban korelatif yang muncul saat seseorang membuat perjanjian dengan orang lain.  Contohnya, jika saya setuju untuk melakukan sesuatu bagi Anda, maka Anda berhak atas apa yang saya lakukan: Anda memperoleh hak kontraktual atas apa pun yang saya janjikan, dan saya memiliki kewajiban kontraktual untuk melaksanakan sesuatu seperti yang saya janjikan.  
Hak dan kewajiban kontraktual dapat dibedakan. Pertama, keduanya berkaitan dengan individu-individu tertentu dan kewajiban korelatif hanya dibebankan pada individu tertentu. Kedua, hak kontraktual muncul dari suatu transaksi khusus antara individu-individu tertentu. Ketiga, hak dan kewajiban kontraktual bergantung pada sistem peraturan yang diterima publik, sistem yang mengatur tentang transaksi yang memunculkan hak dan kewajiban tersebut. Kontrak, misalnya, menciptakan hak dan kewajiban khusus antara pihak-pihak yang terlibat hanya jika mereka mengakui dan menerima sebuah sistem perjanjian yang menyatakan bahwa dengan melakukan hal-hal tertentu (misalnya menandatangani surat perjanjian),  seseorang menerima kewajiban untuk melakukan apa yang telah disetujuinya.
Hak dan kewajiban kontraktual memberikan dasar bagi kewajiban khusus yang diperoleh seseorang saat dia menerima jabatan atau peran dalam sebuah institusi atau organisasi sosial yang sah. [1] Contohnya, direksi memiliki kewajiban khusus untuk menangani organisasi. Dalam kasus ini, terdapat sebuah institusi yang diakui secara umum (institusi korporasi) yang menentukan posisi atau peran khusus (direksi) di mana kesejahteraan orang lain yang memiliki posisi rentan (pegawai atau dalam pengertian luas pemegang saham dan stakeholders ?) bergantung pada direksi. Dalam peran-peran institusional ini, masyarakat menyertakan kewajiban-kewajiban khusus dalam memberikan perhatian pada orang-orang yang memiliki posisi rentan dan melindungi mereka – kewajiban kewajiban yang telah dipahami oleh orang-orang yang menerimanya. Saat seseorang secara sukarela menjalankan peran dan mengetahui apa saja kewajiban yang diberikan masyarakat pada peran tersebut, maka dia berarti telah menyetujui perjanjian untuk memenuhi kewajiban-kewajiban itu. Keberadaan sistem kewajiban kontraktual bahwa individu memenuhi perjanjian tersebut dengan menerima kewajiban yang ditetapkan publik seperti yang dimaksudkan dalam perjanjian. Selanjutnya, korporasi dapat terus berlangsung, dan para anggota masyarakat yang rentan juga akan terlindung. Perlu diingat bahwa kewajiban institusional seseorang bukanlah tidak terbatas. Sebagai “agen yang loyal”, kewajiban direksi untuk mempertahankan dan mengembangkan korporasi dibatasi oleh prinsip-prinsip etika yang berlaku pada semua orang.
Aturan etis apa yang membatasi perjanjian kontrak? Sistem peraturan yang mendasari hak dan kewajiban kontraktual secara umum diinterpretasikan mencakup sejumlah batasan moral:
a)        Kedua belah pihak dalam kontrak harus memahami sepenuhnya sifat dari perjanjian yang mereka buat.
b)        Kedua belah pihak dilarang mengubah fakta perjanjian kotraktual dengan sengaja.
c)         Kedua belah pihak dalam kontrak tidak boleh menandatangani  perjanjian karena paksaan atau ancaman.
d)        Perjanjian kontrak tidak boleh mewajibkan kedua belah pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang amoral.
Perjanjian kontrak yang melanggar salah satu dari empat syarat di atas, atau lebih, dianggap batal.

5.    Dasar Hak Moral
Dasar dari orang memiliki hak moral adalah  seseorang memiliki hak hukum karena dia tinggal di suatu tempat yang memberlakukan hukum yang menjamin hak-hak tersebut. Dasar yang lebih baik bagi hak moral diberikan oleh teori etis yang dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804).Teori Kant didasarkan pada prinsip moral yang disebut perintah kategoris (categorical imperatives) dan yang mewajibkan semua orang diperlakukan sebagai makhluk yang bebas dan sederajat dengan orang lain. Kant memberikan setidaknya dua cara untuk merumuskan prinsip moral.
1)    Rumusan Pertama Perintah Kategoris Kant
Rumusan pertama perintah kategoris Kant adalah sebagai berikut: “Saya tidak boleh melakukan tindakan kecuali dalam suatu cara yang juga dapat saya kehendaki agar maxim  saya menjadi hukum unversal”. Maxim adalah alasan seseorang dalam situasi tertentu untuk melakukan apa yang dia rencanakan. Sebuah maxim akan “menjadi hukun universal” jika semua orang dalam situasi serupa memilih untuk melakukan tindakan yang sama dengan alasan yang sama. Versi pertama kategoris pertama Kant berasal dari prinsip berikut ini:
Sebuah tindakan secara moral benar bagi seseorang dalam suatu situasi jika, dan hanya jika, alasan orang tersebut melakukan tindakan itu adalah alasan yang dipilih semua orang dalam situasi yang sama.
Contohnya, misalkan saya berusaha memutuskan apakah akan memecat seorang pegawai karena dia berbeda ras. Menurut prinsip Kant, saya perlu bertanya pada diri sendiri apakah saya menyetujui tindakan seseorang yang memecat pegawai karena alasan ras. Secara khusus, saya perlu bertanya pada diri sendiri apakah saya bersedia dipecat jika atasan saya berbeda ras. Jika saya tidak ingin orang lain melakukan tindakan seperti tiu, bahkan pada diri saya sendiri, maka secara moral salah bagi saya bila saya melakukannya. Jadi, alasan seseorang melakukan suatu tindakan haruslah berubah dapat “dibalik”; seseorang harus bersedia menerima orang lain menggunakan alasan-alasan tersebut bahkan pada dirinya sendiri. Dengan demikian, ada kesamaan yang jelas antara perintah kategoris dengan apa yang disebut aturan emas: “Do unto others as you would have them do unto you.” ( “Perlakukan orang lain seperti mereka memperlakukanmu.”)
Rumusan pertama perintah kategoris mencakup dua kriteria dalam menentukan apa yang benar dan salah secara moral – universalisabilitas (universalizability) dan  reversibilitas (reversibility):     
Universalisabilitas: alasan seseorang melakukan suatu tindakan haruslah alasan yang dapat diterima semua orang, setidaknya dalam prinsip.
Reversibilitas: alasan seseorang melakukan tindakan haruslah alasan yang dia bisa terima jika orang lain menggunakannya, bahkan sebagai dasar dari bagaimana mereka memperlakukan dirinya.
Contohnya, kita sering mengatakan pada orang lain yang melakukan kesalahan atau akan melakukan kesalahan: ”Bagaimana rasanya jika dia melakukan itu pada Anda?” atau “Bagaimana rasanya jika Anda menjadi dirinya?” yang dalam hal ini mengacu pada reversibilitas. Atau kita mungkin bertanya, “Bagaimana jika semua orang melakukan hal seperti itu?” yang dalam hal ini mengacu pada universalisabilitas.
2)    Rumusan Kedua Perintah Kategoris Kant
Rumusan kedua perintah kategoris Kant adalah: “Bertindaklah dalam suatu cara seperti Anda memperlakukan semua manusia (humanity), baik terhadap diri sendiri atau orang lain, bukan hanya sebagai sarana (means), namun juga pada saat yang sama sebagai tujuan (end). Atau, jangan pernah memperlakukan orang lain hanya sebagai sarana, namun juga sebagai tujuan.
 “Memperlakukan manusia  sebagai tujuan” adalah semua orang harus memperlakukan orang lain sebagai makhluk yang eksistensinya sebagai individu yang rasional, harus dihormati. Artinya: (a) menghormati kebebasan semua orang dengan memperlakukan mereka hanya seperti yang mereka setujui sebelumnya, dan (b) mengembangkan kapasitas semua orang untuk memilih tujuan secara bebas bagi dirinya sendiri. Memperlakukan seseorang sebagai sarana berarti memanfaatkan orang tersebut hanya sebagai cara dalam meraih kepentingan dan tidak melibatkan penghargaan ataupun pengembangan atas kemampuannya untuk memilih secara bebas. Versi kedua perintah kategoris Kant adalah:
Sebuah tindakan secara moral benar bagi seseorang jika, dan hanya jika, dalam melakukannya orang tersebut tidak hanya memanfaatkan orang lain sebagai sarana dalam meraih kepentingan-kepentingannya, namun juga menghargai dan mengembangkan kapasitas mereka untuk memilih secara bebas bagi diri mereka sendiri.
Versi ini mengimplikasikan bahwa manusia memiliki martabat yang sama (equal dignity), yang dalam hal ini membedakan mereka dari benda-benda seperti alat atau mesin sehingga mereka tidak boleh dimanipulasi, ditipu, atau dieksploitasi demi mencapai tujuan orang lain.
Rumusan kedua perintah kategoris, menurut Kant, sesungguhnya sama dengan yang pertama. Versi pertama mengatakan apa yang secara moral benar bagi saya haruslah benar bagi orang lain. Semua orang memiliki nilai yang sama. Dengan demikian,  maka  tidak ada kebebasan seseorang yang dianggap lebih rendah dibandingkan dengan yang lain sehingga dia boleh dimanfaatkan untuk meraih kepentingan orang lain, karena saya memiliki nilai, maka saya tidak bisa mengorbankan diri hanya pada kepentingan diri sendiri. Dan inilah yang dinyatakan dalam perintah kategoris kedua. Kedua rumusan ini berasal dari sumber yang sama semua orang wajib memperlakukan satu sama lain sebagai makhluk yang bebas dan sederajat dalam meraih kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan demikian, rumusan atau formula kategorial Kant : (1) Never do something unless you are willing to have everyone do it, (2) Never use people merely as means, but always respect and develop their ability to choose for themselves.





[1] Catatan: di BUMN dan lembaga pemerintah dikenal dengan kontrak manajemen atau pakta integritas pada saat pengangkatan sebagai direksi, bupati, gubernur, dan menteri.

Sumber: Monang Situmorang, Bahan Ajaran Etika Bisnis dan Profesi, Universitas Pakuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar