TEORI HAK
1. Pendahuluan
Pada dasarnya, pendekatan deontologi menyatakan bahwa tindakan benar
atau baik dilakukan karena merupakan kewajiban moral seseorang untuk melakukannya.
Selain kewajiban, maka aspek lain yang merupakan alasan bahwa suatu tindakan perlu
dilakukan adalah karena merupakan hak asasi manusia. Teori hak merupakan aspek
dari pendekatan deontologi, karena hak selalu berkaitan dengan kewajiban. Apa
yang merupakan kewajiban bagi seseorang biasanya berarti juga hak bagi orang
lain. Dengan demikian, konsep tentang
hak dan kewajiban korelatifnya merupakan inti dari wacana moral kita.
Secara umum, hak (rights) adalah klaim kepemilikan
individu atau sesuatu. Seseorang dikatakan memiliki hak jika dia memiliki klaim
untuk melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu atau jika orang lain
berkewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu kepadanya.
Hak bisa berasal dari sebuah sistem hukum
yang memungkinkan atau mengizinkan seseorang untuk bertindak dalam suatu cara
tertentu atau yang mewajibkan orang lain bertindak dalam suatu cara tertentu
terhadapnya; inilah yang disebut hak hukum (legal
right). Hak juga bisa berasal dari
sistem moral yang tidak tergantung pada sistem hukum tertentu. Hak untuk
bekerja, misalnya, tidak dijamin oleh suatu konstitusi suatu negara tertentu,
namun banyak yang menyatakan bahwa ini adalah hak yang dimiliki oleh semua
negara. Hak-hak semacam ini yang disebut hak moral atau hak asasi manusia, didasarkan
pada aturan dan prinsip-prinsip moral yang menegaskan bahwa manusia diizinkan
atau diberi kewenangan untuk melakukan sesuatu atau berhak memiliki sesuatu.
Tidak seperti hak hukum, hak moral tidak terbatas pada yurisdiksi tertentu.
Jika manusia memiliki hak moral untuk tidak disiksa, misalnya, maka hak ini
juga dimiliki oleh semua orang di dunia, apa pun sistem hukum di negara tempat
mereka berada.
2. Hak Moral
Hak moral merupakan hak yang menetapkan larangan atau kewajiban pada
orang lain yang memungkinkan seseorang untuk memilih dengan bebas apa pun
kepentingn atau aktivitas yang akan dilakukannya. Hak-hak moral semacam ini
memiliki tiga karakteristik penting yang memberikan fungsi “pemungkinan” dan
“perlindungan.”
a)
Hak moral sangat erat hubungannya dengan kewajiban.
Jadi, hak moral memberikan kewajiban
korelatif pada orang lain – baik itu kewajiban untuk tidak ikut campur tangan
atau kewajiban untuk melakukan sesuatu yang positif.
b)
Hak moral memberikan otonomi dan kesetaraan bagi individu
dalam mencari kepentingan-kepentingan mereka.
c)
Hak moral memberikan dasar untuk membenarkan tindakan yang
dilakukan seseorang dan untuk melindungi atau membantu orang lain.
Dengan adanya ketiga karakteristik di
atas, hak moral berarti memberikan dasar dalam membuat keputusan moral yang
secara substansial berbeda dari standar-standar utilitarian. Pertama, hak moral
mengharuskan adanya moralitas dari sudut pandang individu, sementara
utilitarianisme mensyaratkan moralitas dari sudut pandang masyarakat secara
keseluruhan. Standar-standar moral yang berkaitan dengan hak menunjukkan apa
yang menjadi hak dan kewajiban seseorang terhadap orang lain, mendukung
kesejahteraan individu, dan melindungi pilihan individu terhadap gangguan dari
masyarakat. Sementara standar-standar utilitarian mendukung utilitas total
dalam masyarakat, dan tidak mempertimbangkan kesejahteraan individu kecuali
jika kesehtaraan tersebut berpengaruh pada seluruh masyarakat. Kedua, hak
membatasi validitas acuan pada manfaat soasil. Dengan kata lain, jika seseorang
memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka salah apabila ada orang lain yang
ikut campur, meskipun sebagian besar anggota masyarakat mungkin memperoleh
utilitas lebih besar dari campur tangan itu. Jika para anggota kelompok
minoritas memiliki hak atas kebebasan berbicara, maka kelompok mayoritas harus
membiarkan kelompok minoritas tersebut bebas berbicara sekalipun sebagian
nbesar anggota kelompok mayoritas mungkin sangat menantang apa yang mereka
katakan.
3.
Hak Negatif dan Positif
Hak
negatif (negative rights) dapat
digambarkan dari fakta bahwa hak-hak yang termasuk di dalamnya dapat
didefinisikan sepenuhnya dalam kaitannya dengan kewajiban orang lain untuk
tidak ikut campur dalam aktivitas-aktivitas tertentu dari orang yang memiliki
hak tersebut. Contohnya, jika saya memiliki hak privasi, maka ini berarti semua
orang, termasuk atasan saya, berkewajiban untuk tidak ikut campur dalam urusan
atau aktivitas-aktivitas pribadi saya. Jika
saya punya hak untuk menggunakan, menjual, atau menghancurkan aset-aset bisnis
pribadi saya, maka ini berarti semua orang lain berkewajiban untuk tidak
mencegah saya untuk menggunakan, menjual, atau menghancurkan prperti bisnis
pribadi saya.
Sebaliknya, hak positif (positive
rights) tidak hanya memberikan kewajiban negatif, namun juga
mengaplikasikan bahwa pihak lain (tidak selalu jelas siapa mereka) memiliki
kewajiban positif pada si pemilik hak untuk memberikan apa yang dia perlukan
untuk dengan bebas mencari atau mengejar kepentingan-kepentingannya. Contohnya,
jika saya punya hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, maka ini tidak hanya
berarti orang lain tidak boleh ikut campur, namun juga berarti jika saya tidak
bisa memperoleh penghasilan yang layak, maka harus ada pihak lain (mungkin
pemerintah) yang wajib memberikan pekerjaan dengan penghasilan yang layak.
Demikian juga, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk
memperoleh perawatan kesehatan, dan hak untuk memperoleh jaminan sosial
merupakan hak yang tidak hanya mewajibkan orang lain untuk tidak ikut campur
tangan, namun juga memberikan kewajiban positif pada mereka untuk memberikan
apa yang tidak bisa diperoleh.
4. Hak dan Kewajiban Kontraktual
Hak dan kewajiban kontraktual (Contractual
rights and duties) kadang disebut juga hak dan kewajiban khusus atau tugas
khusus adalah hak terbatas dan kewajiban korelatif yang muncul saat seseorang
membuat perjanjian dengan orang lain.
Contohnya, jika saya setuju untuk melakukan sesuatu bagi Anda, maka Anda
berhak atas apa yang saya lakukan: Anda memperoleh hak kontraktual atas apa pun yang saya janjikan, dan saya memiliki kewajiban kontraktual untuk melaksanakan
sesuatu seperti yang saya janjikan.
Hak dan kewajiban kontraktual dapat dibedakan. Pertama, keduanya
berkaitan dengan individu-individu tertentu dan kewajiban korelatif hanya
dibebankan pada individu tertentu. Kedua, hak kontraktual muncul dari suatu
transaksi khusus antara individu-individu tertentu. Ketiga, hak dan kewajiban
kontraktual bergantung pada sistem peraturan yang diterima publik, sistem yang
mengatur tentang transaksi yang memunculkan hak dan kewajiban tersebut.
Kontrak, misalnya, menciptakan hak dan kewajiban khusus antara pihak-pihak yang
terlibat hanya jika mereka mengakui dan menerima sebuah sistem perjanjian yang
menyatakan bahwa dengan melakukan hal-hal tertentu (misalnya menandatangani
surat perjanjian), seseorang menerima
kewajiban untuk melakukan apa yang telah disetujuinya.
Hak dan kewajiban kontraktual memberikan dasar bagi kewajiban khusus
yang diperoleh seseorang saat dia menerima jabatan atau peran dalam sebuah
institusi atau organisasi sosial yang sah. [1]
Contohnya, direksi memiliki kewajiban khusus untuk menangani organisasi. Dalam
kasus ini, terdapat sebuah institusi yang diakui secara umum (institusi
korporasi) yang menentukan posisi atau peran khusus (direksi) di mana
kesejahteraan orang lain yang memiliki posisi rentan (pegawai atau dalam
pengertian luas pemegang saham dan stakeholders
?) bergantung pada direksi. Dalam peran-peran institusional ini, masyarakat
menyertakan kewajiban-kewajiban khusus dalam memberikan perhatian pada
orang-orang yang memiliki posisi rentan dan melindungi mereka – kewajiban kewajiban
yang telah dipahami oleh orang-orang yang menerimanya. Saat seseorang secara
sukarela menjalankan peran dan mengetahui apa saja kewajiban yang diberikan
masyarakat pada peran tersebut, maka dia berarti telah menyetujui perjanjian
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban itu. Keberadaan sistem kewajiban kontraktual
bahwa individu memenuhi perjanjian tersebut dengan menerima kewajiban yang
ditetapkan publik seperti yang dimaksudkan dalam perjanjian. Selanjutnya,
korporasi dapat terus berlangsung, dan para anggota masyarakat yang rentan juga
akan terlindung. Perlu diingat bahwa kewajiban institusional seseorang bukanlah
tidak terbatas. Sebagai “agen yang loyal”, kewajiban direksi untuk
mempertahankan dan mengembangkan korporasi dibatasi oleh prinsip-prinsip etika
yang berlaku pada semua orang.
Aturan etis apa yang membatasi perjanjian kontrak? Sistem peraturan
yang mendasari hak dan kewajiban kontraktual secara umum diinterpretasikan
mencakup sejumlah batasan moral:
a)
Kedua belah pihak dalam kontrak
harus memahami sepenuhnya sifat dari perjanjian yang mereka buat.
b)
Kedua belah pihak dilarang
mengubah fakta perjanjian kotraktual dengan sengaja.
c)
Kedua belah pihak dalam kontrak
tidak boleh menandatangani perjanjian
karena paksaan atau ancaman.
d)
Perjanjian kontrak tidak boleh
mewajibkan kedua belah pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang amoral.
Perjanjian kontrak
yang melanggar salah satu dari empat syarat di atas, atau lebih, dianggap
batal.
5. Dasar Hak Moral
Dasar dari orang memiliki hak moral adalah seseorang memiliki hak hukum karena dia
tinggal di suatu tempat yang memberlakukan hukum yang menjamin hak-hak
tersebut. Dasar yang lebih baik bagi hak moral diberikan oleh teori etis yang
dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804).Teori Kant didasarkan pada
prinsip moral yang disebut perintah
kategoris (categorical imperatives)
dan yang mewajibkan semua orang diperlakukan sebagai makhluk yang bebas dan
sederajat dengan orang lain. Kant memberikan setidaknya dua cara untuk
merumuskan prinsip moral.
1)
Rumusan Pertama Perintah Kategoris
Kant
Rumusan pertama perintah kategoris Kant adalah sebagai berikut: “Saya
tidak boleh melakukan tindakan kecuali dalam suatu cara yang juga dapat saya
kehendaki agar maxim saya menjadi hukum unversal”. Maxim
adalah alasan seseorang dalam situasi tertentu untuk melakukan apa yang dia
rencanakan. Sebuah maxim akan “menjadi hukun universal” jika semua orang dalam
situasi serupa memilih untuk melakukan tindakan yang sama dengan alasan yang
sama. Versi pertama kategoris pertama Kant berasal dari prinsip berikut ini:
Sebuah
tindakan secara moral benar bagi seseorang dalam suatu situasi jika, dan hanya
jika, alasan orang tersebut melakukan tindakan itu adalah alasan yang dipilih
semua orang dalam situasi yang sama.
Contohnya, misalkan saya berusaha memutuskan apakah akan
memecat seorang pegawai karena dia berbeda ras. Menurut prinsip Kant, saya
perlu bertanya pada diri sendiri apakah saya menyetujui tindakan seseorang yang
memecat pegawai karena alasan ras. Secara khusus, saya perlu bertanya pada diri
sendiri apakah saya bersedia dipecat jika atasan saya berbeda ras. Jika saya
tidak ingin orang lain melakukan tindakan seperti tiu, bahkan pada diri saya
sendiri, maka secara moral salah bagi saya bila saya melakukannya. Jadi, alasan
seseorang melakukan suatu tindakan haruslah berubah dapat “dibalik”; seseorang
harus bersedia menerima orang lain menggunakan alasan-alasan tersebut bahkan
pada dirinya sendiri. Dengan demikian, ada kesamaan yang jelas antara perintah
kategoris dengan apa yang disebut aturan emas: “Do unto others as you would
have them do unto you.” ( “Perlakukan orang lain seperti mereka
memperlakukanmu.”)
Rumusan pertama perintah kategoris
mencakup dua kriteria dalam menentukan apa yang benar dan salah secara moral –
universalisabilitas (universalizability)
dan reversibilitas (reversibility):
Universalisabilitas: alasan seseorang melakukan
suatu tindakan haruslah alasan yang dapat diterima semua orang, setidaknya
dalam prinsip.
Reversibilitas: alasan seseorang melakukan
tindakan haruslah alasan yang dia bisa terima jika orang lain menggunakannya,
bahkan sebagai dasar dari bagaimana mereka memperlakukan dirinya.
Contohnya, kita
sering mengatakan pada orang lain yang melakukan kesalahan atau akan melakukan
kesalahan: ”Bagaimana rasanya jika dia melakukan itu pada Anda?” atau
“Bagaimana rasanya jika Anda menjadi dirinya?” yang dalam hal ini mengacu pada reversibilitas. Atau kita mungkin
bertanya, “Bagaimana jika semua orang melakukan hal seperti itu?” yang dalam
hal ini mengacu pada universalisabilitas.
2)
Rumusan Kedua Perintah Kategoris
Kant
Rumusan kedua perintah kategoris Kant adalah: “Bertindaklah
dalam suatu cara seperti Anda memperlakukan semua manusia (humanity), baik terhadap diri sendiri atau orang lain, bukan hanya
sebagai sarana (means), namun juga
pada saat yang sama sebagai tujuan (end).
Atau, jangan pernah memperlakukan orang lain hanya sebagai sarana, namun juga
sebagai tujuan.
“Memperlakukan
manusia sebagai tujuan” adalah semua
orang harus memperlakukan orang lain sebagai makhluk yang eksistensinya sebagai
individu yang rasional, harus dihormati. Artinya: (a) menghormati kebebasan
semua orang dengan memperlakukan mereka hanya seperti yang mereka setujui
sebelumnya, dan (b) mengembangkan kapasitas semua orang untuk memilih tujuan
secara bebas bagi dirinya sendiri. Memperlakukan seseorang sebagai sarana
berarti memanfaatkan orang tersebut hanya sebagai cara dalam meraih kepentingan
dan tidak melibatkan penghargaan ataupun pengembangan atas kemampuannya untuk
memilih secara bebas. Versi kedua perintah kategoris Kant adalah:
Sebuah
tindakan secara moral benar bagi seseorang jika, dan hanya jika, dalam
melakukannya orang tersebut tidak hanya memanfaatkan orang lain sebagai sarana
dalam meraih kepentingan-kepentingannya, namun juga menghargai dan
mengembangkan kapasitas mereka untuk memilih secara bebas bagi diri mereka
sendiri.
Versi ini mengimplikasikan bahwa manusia memiliki martabat
yang sama (equal dignity), yang dalam
hal ini membedakan mereka dari benda-benda seperti alat atau mesin sehingga
mereka tidak boleh dimanipulasi, ditipu, atau dieksploitasi demi mencapai
tujuan orang lain.
Rumusan kedua perintah kategoris, menurut Kant, sesungguhnya
sama dengan yang pertama. Versi pertama mengatakan apa yang secara moral benar
bagi saya haruslah benar bagi orang lain. Semua orang memiliki nilai yang sama.
Dengan demikian, maka tidak ada kebebasan seseorang yang dianggap
lebih rendah dibandingkan dengan yang lain sehingga dia boleh dimanfaatkan
untuk meraih kepentingan orang lain, karena saya memiliki nilai, maka saya
tidak bisa mengorbankan diri hanya pada kepentingan diri sendiri. Dan inilah
yang dinyatakan dalam perintah kategoris kedua. Kedua rumusan ini berasal dari
sumber yang sama semua orang wajib memperlakukan satu sama lain sebagai makhluk
yang bebas dan sederajat dalam meraih kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan
demikian, rumusan atau formula kategorial Kant : (1) Never do something unless you
are willing to have everyone do it, (2) Never
use people merely as means, but
always respect and develop their ability to choose for themselves.
[1] Catatan: di BUMN dan lembaga pemerintah dikenal dengan kontrak manajemen atau pakta integritas
pada saat pengangkatan sebagai direksi, bupati, gubernur, dan menteri.
Sumber: Monang Situmorang, Bahan Ajaran Etika Bisnis dan Profesi, Universitas Pakuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar