Jumat, 29 November 2013

TEORI KEADILAN

TEORI KEADILAN
1.    Pendahuluan
Pendekatan deontologi yang lain didasarkan pada keadilan moral. Pertentangan antarindividu dalam bisnis sering dikaitkan dengan masalah keadilan atau kewajaran (justice or fairness). Hal ini terjadi, misalnya, saat seseorang menuduh orang lain melakukan diskriminasi terhadapnya, menunjukkan sikap berat sebelah (unjust favoritism), atau tidak memperoleh bagian yang wajar dari beban yang ditanggungnya dalam suatu perjanjian kerja sama. Penyelesaian masalah seperti ini kerap kali mengharuskan kita membandingkan dan menimbang klaim-klaim yang saling bertentangan dari masing-masing pihak serta mencari keseimbangannya. Keadilan dan kewajaran pada dasarnya bersifat komparatif. Keduanya berkaitan dengan perlakuan komparatif yang diberikan pada anggota suatu kelompok tertentu saat dilakukan pendistribusian manfaat dan beban (benefit and burden), saat peraturan-peraturan diberlakukan, saat anggota satu kelompok bekerja sama atau bersaing satu sama lain, dan saat orang-orang dihukum karena telah melakukan kesalahan atau memperoleh kompensasi atas kesalahan yang membuat mereka menderita.
Standar keadilan secara umum dianggap lebih penting dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan utilitarian. Jika suatu kelompok masyarakat bersikap tidak adil pada beberapa anggotanya, maka kita biasanya mengecam masyarakat tersebut sekalipun ketidakadilan itu memberikan keuntungan-keuntungan utilitarian yang lebih besar bagi semua orang.

2.    Tipe-tipe Keadilan
Masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan kewajaran dapat dibagi dalam tiga kategori: (1) Keadilan distributif (distributive justice), berkaitan dengan distribusi yang wajar atas manfaat dan beban dalam masyarakat, (2) Keadilan retributif (retributive justice), mengacu pada pemberlakuan hukuman yang adil pada pihak-pihak yang melakukan kesalahan, dan (3) Keadilan kompensatif (compensative justice), berkaitan dengan cara yang adil dalam memberikan kompensasi pada seseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain.
1)    Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif adalah bahwa yang sederajat/sama (equal) haruslah diperlakukan secara sederajat dan yang tidak sama juga diperlakukan dengan cara yang tidak sama. Lebih tepatnya, prinsip dasar dari keadilan distributif adalah:
Individu-individu yang sederajat/sama dalam segala yang berkaitan dengan perlakuan yang dibicarakan haruslah memperoleh manfaat dan beban sama, sekalipun mereka tidak sama dalam aspek-aspek yang tidak relevan lainnya; dan individu-individu yang tidak sama dalam suatu aspek yang relevan perlu diperlakukan secara tidak sama, sesuai dengan ketidaksamaan mereka.
Sebagai contoh, jika Susan dan Bill melakukan pekerjaan yang sama dan tidak ada perbedaan relevan antara keduanya atau dalam pekerjaan yang mereka lakukan, maka mereka juga harus memperoleh gaji yang sama. Namun demikian, jika jam kerja Susan dua kali lebih lama dari Bill dan jika jam kerja merupakan dasar yang relevan untuk menentukan gaji mereka, maka Susan harus memperoleh gaji dua kali lipat.
Berikut akan diuraikan berbagai sudut pandang mengenai prinsip-prinsip distributif (keadilan distributif) selain prinsip dasar atau fundamanetal di atas, yaitu:
a.    Keadilan sebagai Kesamaan (Equality) : Egalitarian
 Kaum egalitarian meyakini bahwa tidak ada perbedaan yang relevan di antara semua orang yang bisa dipakai sebagai pembenaran atas perlakuan yang tidak adil. Menurut pandangan egalitarian, semua manfaat dan beban haruslah didistribusikan menurut rumusan berikut: 
Semua orang harus memperoleh manfaat dan beban masyarakat atau kelompok dalam jumlah yang sama.
b.    Keadilan Berdasarkan Kontribusi :  Keadilan Kapitalis
 Menurut pandangan keadilan kapitalis, saat orang-orang terlibat dalam pertukaran ekonomi, apa yang diperoleh seseorang dari pertukaran ini setidaknya haruslah sama nilainya dengan yang dia kontribusikan atau sumbangkan. Jadi, keadilan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh seseorang haruslah proporsional dengan nilai kontribusi/sumbangan yang diberikannya. Pendek kata:
Manfaat haruslah didistribusikan sesuai dengan nilai sumbangan individu yang diberikan pada masyarakat, tugas, kelompok, atau pertukaran.
Prinsip kontribusi atau sumbangan ini merupakan prinsip kewajaran yang paling banyak digunakan dalam menentukan gaji dan upah di perusahaan-perusahaan Amerika. Para pekerja  di negara-negara yang dikarakteristikkan memiliki budaya yang lebih individualistik, seperti Amerika, lebih memilih prinsip kontribusi ini dibandingkan para pekerja di negara-negara budaya kolektivitas, seperti Jepang. Masalah utama dari prinsip kontribusi keadilan distributif ini adalah bagaimana “menilai kontibusi” (“value of the contribution”) masing-masing individu. Salah satu cara adalah dengan menilainya menurut jumlah usaha (work effort). Semakin besar usaha yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, maka semakin besar pula bagian manfaat yang berhak diperolehnya. Semakin keras kerja seseorang, semakin banyak yang berhak dia dapatkan. Ini adalah asumsi dibalik Etika puritan (Puritan ethic), yang menyatakan bahwa semua individu memiliki kewajiban religius untuk bekerja keras sesuai dengan panggilannya (sesuai dengan karier yang diberikan Tuhan pada mereka) dan bahwa orang-orang yang bekerja keras, oleh Tuhan akan dianugerahi kekayaan dan kesuksesan, dan Dia akan menghukum orang-orang yang malas dengan kemiskinan dan kegagalan. Di Amerika, etika puritan ini telah berkembang menjadi etika kerja (work ethic) sekuler, yang menempatkan nilai tinggi pada usaha individu dan mengasumsikan bahwa kerja keras akan memberikan keberhasilan dan kemalasan akan mendapatkan hukuman.
c.     Keadailan Berdasarkan Kebutuhan dan Kemampuan : Sosialisme
Menurut pandangan ini (Louis Blanc, Karl Marx, dan Nikolai Lenin) dari semua orang sesuai dengan kemampuan (abilities) mereka, bagi semua orang sesuai dengan kebutuhannya (needs) . Dengan kata lain dinyatakan bahwa:
Beban kerja haruslah didistribusikan sesuai dengan kemampuan orang-orang, dan manfaat harus didistribusikan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Hal yang paling fundamental dalam pandangan sosialis ini adalah adanya gagasan bahwa tatanan masyarakat haruslah dalam bentuk komunitas di mana manfaat dan beban didistribusikan dengan menggunakan model keluarga. Seperti halnya para anggota keluarga yang mampu (able family members) harus bersedia membantu keluarga, dan anggota keluarga yang tidak mampu (needy family members) dibantu oleh keluarga, maka demikian juga anggota masyarakat wajib menyumbangkan kemampuan mereka pada masyarakat dengan menerima beban yang lebih besar sementara yang tidak mampu tetap memperoleh bagian dari manfaat masyarakat.
d.    Keadilan Sebagai Kebebasan : Libertarianisme
Menurut pandangan libertarian (Robert Nozick), mengatakan:
Dari setiap orang sesuai dengan apa yang dipilih untuk dilakukan, bagi setiap orang sesuai dengan apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri (mungkin dengan bantuan orang lain), dan apa yang dipilih orang lain untuk dilakukan baginya dan mereka pilih untuk diberikan padanya atau apa yang telah mereka berikan sebelumnya dan belum diperbanyak atau dialihkan.
 Jelasnya, “Dari setiap orang sesuai dengan apa yang mereka pilih, bagi orang sesuai dengan apa yang dipilihkan bagi mereka”. Prinsip ini didasarkan pada klaim bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan paksaan yang dalam hal ini lebih diprioritaskan dari hak-hak dan nilai lain. Satu-satunya distribusi yang adil adalah distribusi yang dihasilkan dari pilihan individu. Dengan demikian, semua bentuk distribusi yang dihasilkan dari usaha untuk menerapkan suatu pola tertentu pada masyarakat (misalnya yang mengutamakan kesetaraan dengan mengambil dari yang kaya dan memberikannya pada yang miskin) adalah tidak adil.
e.    Keadilan Sebagai Kewajaran : Rawls
Teori ini (John Rawls), merupakan sebuah pendekatan pada keadilan distributif yang mendekati teori komprehensif, yang didasarkan pada asumsi bahwa konflik yang melibatkan masalah keadilan pertama-tama haruslah ditangani dengan membuat sebuah metode yang tepat dalam memilih prinsip-prinsip untuk menanganinya. Setelah metode ini dibuat, prinsip-prinsip yang dipilih dengan menggunakan metode itu haruslah mampu berperan sebagai prinsip keadilan distributif. Rawls mengusulkan dua prinsip dasar yang perlu dipilih jika ingin memperoleh metode yang tepat guna memilih prinsip untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial. Prinsip keadilan distributif yang diusulkan menyatakan bahwa distribusi manfaat dan beban suatu masyarakat adalah adil jika, dan hanya jika:
1)         Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar paling ekstensif yang dalam hal ini mirip dengan kebebasan untuk semua orang, dan
2)         Ketidakadilan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
a.    mampu memberikan manfaat terbesar bagi orang yang kurang beruntung, dan
b.    ditangani dalam lembaga dan jabatan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip persamaan hak dalam memperoleh kesempatan.
Prinsip 1 harus lebih diprioritaskan dari prinsip 2 apabila keduanya berkonflik, dan dalam prinsip 2, bagian b harus lebih diprioritaskan dari bagian a. Prinsip 1 disebut prinsip kebebasan sederajat (principle of equal liberty). Prinsip ini mengatakan bahwa kebebasan setiap warga negara haruslah dilindungi dari gangguan orang lain dan haruslah sederajat antara yang satu dengan yang lain. Bagian a dari prinsip 2 disebut prinsip perbedaan (difference principle). Prinsip ini mengasumsikan bahwa sebuah masyarakat yang produktif memang harus memasukkan sejumlah ketidaksamaan, namun selanjutnya ditegaskan bahwa kita perlu mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki posisi kelompok paling lemah dalam masyarakat, seperti orang sakit dan cacat, keadaannya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Bagian b dari prinsip 2 disebut prinsip kesamaan hak dalam memperoleh kesempatan (principle of fair equality of opportunity). Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang haruslah memiliki hak yang sama dalam memperoleh jabatan-jabatan dalam berbagai lembaga masyarakat.
Dengan demikian, sebuah prinsip secara moral dapat dikatakan sebagai prinsip keadilan yang secara moral benar jika, dan hanya jika, prinsip tersebut dapat diterima oleh suatu kelompok individu rasional yang mengatahui bahwa mereka akan tinggal dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip yang mereka terima, namun tidak tahu apa jenis kelamin, ras, kemampuan, agama, kepentingan, jabatan sosial, penghasilan, atau karakteristik-karakteristik khusus lain yang akan mereka miliki dalam masyarakat tersebut.

2)    Keadilan Retributif
Keadilan retributif berkaitan dengan keadilan dalam menyalahkan atau menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan. Terdapat kondisi-kondisi yang dianggap adil untuk menghukum seseorang yang telah berbuat kesalahan.
Kondisi dari hukuman yang adil adalah: (1) Seseorang dianggap tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas apa yang dia lakukan karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan (ignorance and inability). Contohnya, jika pemilik pabrik pengolahan kapas tidak tahu bahwa keadaan di pabriknya bisa menyebabkan para pekerja terkena penyakit paru-paru, maka tidak adil bila kita menghukumnya karena pabrik miliknya menyebabkan penyakit tersebut,  (2) Kepastian bahwa orang yang dihukum benar-benar melakukan apa yang dituduhkan. Contohnya, menghukum pegawai dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang tidak akurat dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak adil, dan (3) Hukuman tersebut haruslah konsisten dan proporsional dengan kesalahannya. Contohnya, adalah tidak adil bila seorang manajer memberikan hukumuan yang keras pada pelanggaran kecil atau memberikan hukuman ringan pada orang-orang tertentu dan hukuman lebih berat pada yang lainnya. 

3)    Keadilan Kompensatif
Keadilan kompensatif berkaitan dengan keadilan dalam memperbaiki kerugian yang dialami seseorang akibat perbuatan orang lain. Saat seseorang melakukan tindakan yang merugikan kepentingan orang lain, maka pelakunya memiliki kewajiban moral untuk memberikan semacam ganti rugi pada korbannya. Contohnya, jika saya merusak properti orang lain atau melukainya, maka saya secara moral bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi kepadanya.
Seseorang memiliki kewajiban moral untuk memberikan kompensasi pada pihak yang dirugikan jika tiga syarat berikut dipenuhi: (1) Tindakan yang mengakibatkan kerugian adalah kesalahan atau kelalaian, (2) Tindakan tersebut merupakan penyebab kerugian sesungguhnya, dan (3) Pelaku mengakibatkan kerugian secara sengajaeseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain.

Sumber: Monang Situmorang, MM. SE, Bahan Ajaran Etika Bisnis dan Profesi, Universitas Pakuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar