TEORI KEADILAN
1.
Pendahuluan
Pendekatan deontologi yang lain didasarkan pada keadilan moral. Pertentangan
antarindividu dalam bisnis sering dikaitkan dengan masalah keadilan atau
kewajaran (justice or fairness).
Hal ini terjadi, misalnya, saat seseorang menuduh orang lain melakukan
diskriminasi terhadapnya, menunjukkan sikap berat sebelah (unjust favoritism), atau tidak memperoleh bagian yang wajar dari
beban yang ditanggungnya dalam suatu perjanjian kerja sama. Penyelesaian
masalah seperti ini kerap kali mengharuskan kita membandingkan dan menimbang
klaim-klaim yang saling bertentangan dari masing-masing pihak serta mencari
keseimbangannya. Keadilan dan kewajaran pada dasarnya bersifat komparatif.
Keduanya berkaitan dengan perlakuan komparatif yang diberikan pada anggota
suatu kelompok tertentu saat dilakukan pendistribusian manfaat dan beban (benefit and burden), saat
peraturan-peraturan diberlakukan, saat anggota satu kelompok bekerja sama atau
bersaing satu sama lain, dan saat orang-orang dihukum karena telah melakukan
kesalahan atau memperoleh kompensasi atas kesalahan yang membuat mereka
menderita.
Standar keadilan
secara umum dianggap lebih penting dibandingkan dengan
pertimbangan-pertimbangan utilitarian. Jika suatu kelompok masyarakat bersikap
tidak adil pada beberapa anggotanya, maka kita biasanya mengecam masyarakat
tersebut sekalipun ketidakadilan itu memberikan keuntungan-keuntungan
utilitarian yang lebih besar bagi semua orang.
2. Tipe-tipe Keadilan
Masalah-masalah
yang berkaitan dengan keadilan dan kewajaran dapat dibagi dalam tiga kategori:
(1) Keadilan distributif (distributive
justice), berkaitan dengan distribusi yang wajar atas manfaat dan beban
dalam masyarakat, (2) Keadilan retributif (retributive
justice), mengacu pada pemberlakuan hukuman yang adil pada pihak-pihak yang
melakukan kesalahan, dan (3) Keadilan kompensatif (compensative justice), berkaitan dengan cara yang adil dalam
memberikan kompensasi pada seseorang atas kerugian yang mereka alami akibat
perbuatan orang lain.
1) Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif adalah bahwa yang
sederajat/sama (equal) haruslah
diperlakukan secara sederajat dan yang tidak sama juga diperlakukan dengan cara
yang tidak sama. Lebih tepatnya, prinsip dasar dari keadilan distributif
adalah:
Individu-individu yang sederajat/sama dalam
segala yang berkaitan dengan perlakuan yang dibicarakan haruslah memperoleh
manfaat dan beban sama, sekalipun mereka tidak sama dalam aspek-aspek yang
tidak relevan lainnya; dan individu-individu yang tidak sama dalam suatu aspek
yang relevan perlu diperlakukan secara tidak sama, sesuai dengan ketidaksamaan
mereka.
Sebagai contoh,
jika Susan dan Bill melakukan pekerjaan yang sama dan tidak ada perbedaan
relevan antara keduanya atau dalam pekerjaan yang mereka lakukan, maka mereka
juga harus memperoleh gaji yang sama. Namun demikian, jika jam kerja Susan dua
kali lebih lama dari Bill dan jika jam kerja merupakan dasar yang relevan untuk
menentukan gaji mereka, maka Susan harus memperoleh gaji dua kali lipat.
Berikut akan
diuraikan berbagai sudut pandang mengenai prinsip-prinsip distributif (keadilan
distributif) selain prinsip dasar atau fundamanetal di atas, yaitu:
a. Keadilan sebagai Kesamaan (Equality) : Egalitarian
Kaum egalitarian meyakini bahwa
tidak ada perbedaan yang relevan di antara semua orang yang bisa dipakai
sebagai pembenaran atas perlakuan yang tidak adil. Menurut pandangan
egalitarian, semua manfaat dan beban haruslah didistribusikan menurut rumusan
berikut:
Semua orang harus memperoleh manfaat dan beban masyarakat atau kelompok
dalam jumlah yang sama.
b. Keadilan Berdasarkan
Kontribusi : Keadilan Kapitalis
Menurut pandangan keadilan
kapitalis, saat orang-orang terlibat dalam pertukaran ekonomi, apa yang
diperoleh seseorang dari pertukaran ini setidaknya haruslah sama nilainya
dengan yang dia kontribusikan atau sumbangkan. Jadi, keadilan mensyaratkan
bahwa manfaat yang diperoleh seseorang haruslah proporsional dengan nilai
kontribusi/sumbangan yang diberikannya. Pendek kata:
Manfaat haruslah didistribusikan sesuai
dengan nilai sumbangan individu yang diberikan pada masyarakat, tugas,
kelompok, atau pertukaran.
Prinsip kontribusi
atau sumbangan ini merupakan prinsip kewajaran yang paling banyak digunakan dalam
menentukan gaji dan upah di perusahaan-perusahaan Amerika. Para
pekerja di negara-negara yang
dikarakteristikkan memiliki budaya yang lebih individualistik, seperti Amerika,
lebih memilih prinsip kontribusi ini dibandingkan para pekerja di negara-negara
budaya kolektivitas, seperti Jepang. Masalah utama dari prinsip kontribusi
keadilan distributif ini adalah bagaimana “menilai kontibusi” (“value of the contribution”)
masing-masing individu. Salah satu cara adalah dengan menilainya menurut jumlah
usaha (work effort). Semakin besar
usaha yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, maka semakin
besar pula bagian manfaat yang berhak diperolehnya. Semakin keras kerja
seseorang, semakin banyak yang berhak dia dapatkan. Ini adalah asumsi dibalik Etika puritan (Puritan ethic), yang menyatakan bahwa semua individu memiliki
kewajiban religius untuk bekerja keras sesuai dengan panggilannya (sesuai
dengan karier yang diberikan Tuhan pada mereka) dan bahwa orang-orang yang
bekerja keras, oleh Tuhan akan dianugerahi kekayaan dan kesuksesan, dan Dia
akan menghukum orang-orang yang malas dengan kemiskinan dan kegagalan. Di
Amerika, etika puritan ini telah berkembang menjadi etika kerja (work ethic) sekuler, yang menempatkan
nilai tinggi pada usaha individu dan mengasumsikan bahwa kerja keras akan
memberikan keberhasilan dan kemalasan akan mendapatkan hukuman.
c. Keadailan Berdasarkan
Kebutuhan dan Kemampuan : Sosialisme
Menurut pandangan ini (Louis Blanc, Karl Marx, dan Nikolai Lenin) dari
semua orang sesuai dengan kemampuan (abilities)
mereka, bagi semua orang sesuai dengan kebutuhannya (needs) . Dengan kata lain dinyatakan bahwa:
Beban kerja haruslah didistribusikan sesuai
dengan kemampuan orang-orang, dan manfaat harus didistribusikan sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Hal yang paling
fundamental dalam pandangan sosialis ini adalah adanya gagasan bahwa tatanan
masyarakat haruslah dalam bentuk komunitas di mana manfaat dan beban
didistribusikan dengan menggunakan model keluarga. Seperti halnya para anggota
keluarga yang mampu (able family members)
harus bersedia membantu keluarga, dan anggota keluarga yang tidak mampu (needy family members) dibantu oleh keluarga, maka demikian juga anggota
masyarakat wajib menyumbangkan kemampuan mereka pada masyarakat dengan menerima
beban yang lebih besar sementara yang tidak mampu tetap memperoleh bagian dari
manfaat masyarakat.
d. Keadilan Sebagai Kebebasan :
Libertarianisme
Menurut
pandangan libertarian (Robert Nozick),
mengatakan:
Dari setiap orang sesuai dengan apa yang
dipilih untuk dilakukan, bagi setiap orang sesuai dengan apa yang mereka
lakukan untuk diri mereka sendiri (mungkin dengan bantuan orang lain), dan apa
yang dipilih orang lain untuk dilakukan baginya dan mereka pilih untuk
diberikan padanya atau apa yang telah mereka berikan sebelumnya dan belum
diperbanyak atau dialihkan.
Jelasnya, “Dari setiap orang sesuai dengan apa yang mereka pilih, bagi
orang sesuai dengan apa yang dipilihkan bagi mereka”. Prinsip ini didasarkan
pada klaim bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan paksaan yang dalam hal
ini lebih diprioritaskan dari hak-hak dan nilai lain. Satu-satunya distribusi
yang adil adalah distribusi yang dihasilkan dari pilihan individu. Dengan
demikian, semua bentuk distribusi yang dihasilkan dari usaha untuk menerapkan
suatu pola tertentu pada masyarakat (misalnya yang mengutamakan kesetaraan
dengan mengambil dari yang kaya dan memberikannya pada yang miskin) adalah
tidak adil.
e. Keadilan Sebagai Kewajaran : Rawls
Teori ini (John Rawls),
merupakan sebuah pendekatan pada keadilan distributif yang mendekati teori
komprehensif, yang didasarkan pada asumsi bahwa konflik yang melibatkan masalah
keadilan pertama-tama haruslah ditangani dengan membuat sebuah metode yang tepat
dalam memilih prinsip-prinsip untuk menanganinya. Setelah metode ini dibuat,
prinsip-prinsip yang dipilih dengan menggunakan metode itu haruslah mampu
berperan sebagai prinsip keadilan distributif. Rawls mengusulkan dua prinsip
dasar yang perlu dipilih jika ingin memperoleh metode yang tepat guna memilih
prinsip untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial. Prinsip keadilan
distributif yang diusulkan menyatakan bahwa distribusi manfaat dan beban suatu
masyarakat adalah adil jika, dan hanya jika:
1)
Setiap orang memiliki hak yang
sama atas kebebasan dasar paling ekstensif yang dalam hal ini mirip dengan
kebebasan untuk semua orang, dan
2)
Ketidakadilan sosial dan ekonomi
diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
a.
mampu memberikan manfaat terbesar
bagi orang yang kurang beruntung, dan
b.
ditangani dalam lembaga dan
jabatan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip persamaan hak dalam
memperoleh kesempatan.
Prinsip 1 harus lebih diprioritaskan dari prinsip 2 apabila
keduanya berkonflik, dan dalam prinsip 2, bagian b harus lebih diprioritaskan
dari bagian a. Prinsip 1 disebut prinsip kebebasan sederajat (principle
of equal liberty). Prinsip ini mengatakan bahwa kebebasan setiap warga
negara haruslah dilindungi dari gangguan orang lain dan haruslah sederajat
antara yang satu dengan yang lain. Bagian a dari prinsip 2 disebut prinsip
perbedaan (difference principle). Prinsip ini mengasumsikan bahwa sebuah
masyarakat yang produktif memang harus memasukkan sejumlah ketidaksamaan, namun
selanjutnya ditegaskan bahwa kita perlu mengambil langkah-langkah untuk
memperbaiki posisi kelompok paling lemah dalam masyarakat, seperti orang sakit
dan cacat, keadaannya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Bagian b dari
prinsip 2 disebut prinsip kesamaan hak dalam memperoleh kesempatan (principle
of fair equality of opportunity). Prinsip ini mengatakan bahwa setiap
orang haruslah memiliki hak yang sama dalam memperoleh jabatan-jabatan dalam
berbagai lembaga masyarakat.
Dengan demikian,
sebuah prinsip secara moral dapat dikatakan sebagai prinsip keadilan yang
secara moral benar jika, dan hanya jika, prinsip tersebut dapat diterima oleh
suatu kelompok individu rasional yang mengatahui bahwa mereka akan tinggal
dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip yang mereka terima, namun
tidak tahu apa jenis kelamin, ras, kemampuan, agama, kepentingan, jabatan
sosial, penghasilan, atau karakteristik-karakteristik khusus lain yang akan
mereka miliki dalam masyarakat tersebut.
2) Keadilan Retributif
Keadilan retributif berkaitan dengan keadilan
dalam menyalahkan atau menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan.
Terdapat kondisi-kondisi yang dianggap adil untuk menghukum seseorang yang
telah berbuat kesalahan.
Kondisi dari hukuman
yang adil adalah: (1) Seseorang dianggap tidak dapat diminta pertanggung jawaban
atas apa yang dia lakukan karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan (ignorance and inability). Contohnya,
jika pemilik pabrik pengolahan kapas tidak tahu bahwa keadaan di pabriknya bisa
menyebabkan para pekerja terkena penyakit paru-paru, maka tidak adil bila kita
menghukumnya karena pabrik miliknya menyebabkan penyakit tersebut, (2) Kepastian bahwa orang yang dihukum
benar-benar melakukan apa yang dituduhkan. Contohnya, menghukum pegawai dengan
berdasarkan pada bukti-bukti yang tidak akurat dapat dikatakan sebagai tindakan
yang tidak adil, dan (3) Hukuman tersebut haruslah konsisten dan proporsional
dengan kesalahannya. Contohnya, adalah tidak adil bila seorang manajer
memberikan hukumuan yang keras pada pelanggaran kecil atau memberikan hukuman
ringan pada orang-orang tertentu dan hukuman lebih berat pada yang lainnya.
3) Keadilan Kompensatif
Keadilan kompensatif berkaitan dengan
keadilan dalam memperbaiki kerugian yang dialami seseorang akibat perbuatan
orang lain. Saat seseorang melakukan tindakan yang merugikan kepentingan orang
lain, maka pelakunya memiliki kewajiban moral untuk memberikan semacam ganti
rugi pada korbannya. Contohnya, jika saya merusak properti orang lain atau
melukainya, maka saya secara moral bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi
kepadanya.
Seseorang memiliki kewajiban moral untuk memberikan kompensasi pada
pihak yang dirugikan jika tiga syarat berikut dipenuhi: (1) Tindakan yang
mengakibatkan kerugian adalah kesalahan atau kelalaian, (2) Tindakan tersebut
merupakan penyebab kerugian sesungguhnya, dan (3) Pelaku mengakibatkan kerugian
secara sengajaeseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar