Memacu Kesadaran Pajak Lewat Pendidikan
Oleh
Endaryono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ide menyertakan pajak ke dalam kurikulum pendidikan menjadi
sebuah wacana yang cukup santer dalam beberapa bulan terakhir. Solusi
memasukkan materi pajak dalam bahan ajar sekolah pada kurikulum 2013 menjadi
sebuah solusi yang dianggap mampu mengatasi kesadaran pajak di tengah
masyarakat Indonesia yang masih bisa dikatakan sangat rendah. Namun menyertakan
pajak dalam kurikulum menimbulkan berbagai asumsi. Salah satu asumsi yang
mengemuka adalah kemungkinan rendahnya tingkat kesadaran tersebut dialaskan
kepada dunia pendidikan yang tak sepenuhnya menopang pajak dalam memberikan
informasi sedini mungkin sehingga banyak masyarakat yang belum sadar
pajak pada saat usia produktifnya.
Siapa pun sadar peran pajak dalam beberapa tahun terakhir.
Pajak telah menjadi urat nadi negara ini dalam pembangunannya. Beban pajak yang
semakin meningkat setiap tahunnya membuat Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
sebagai institusi penanggung jawab penerimaan negara harus menggiatkan berbagai
upaya untuk mencari wajib pajak dan objek pajak baru. Atas dasar inilah sisi
dunia pendidikan mulai disentuh.
Bisa dikatakan sejak lama dunia pendidikan bukanlah dunia
yang cukup ramah dengan pajak. Tak ada jenjang strata pendidikan tingkat awal
mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas yang memberikan pelajaran
terkait perpajakan. Kalaupun ada materi perpajakan yang diajarkan lebih
dilekatkan kepada pelajaran ekonomi untuk bab-bab tertentu saja yang sifatnya
sangat teknis tanpa menyentuh kepada mindset akan arti pentingnya pajak.
Perpajakan saat ini lebih identik dengan kemampuan teknis yang mulai
diperkenalkan pada saat pendidikan tinggi hingga pendidikan keahlian tertentu.
Hal ini dianggap menjadi alasan yang mampu melemahkan pajak di mata warga
negara sehingga pajak dianggap membebani karena pemahaman akan pajak adalah
kalangan pendidikan tinggi tertentu saja dan tidak menyentuh masyarakat sedari
dini. Maka untuk memacu kesadaran pajak sedari kecil jenjang pendidikan mulai
coba diusahakan untuk didekatkan dengan pajak.
Sadar Pajak Sedari Kecil
Memperkenalkan pajak sedari dini menjadi sedikit jawaban
atas rendahnya kesadaran pajak dalam diri masyarakat Indonesia saat ini. Pajak
yang pada dasarnya merupakan kewajiban yang mengikat kepada setiap warga negara
dan telah dilegalkan secara Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ternyata tak
sepenuhnya dipatuhi oleh masyarakat. Akibatnya peran pajak yang sangat penting
dalam pembangunan tak sepenuhnya terpenuhi.
DJP pada dasarnya telah melakukan berbagai langkah untuk
mendekat dengan dunia pendidikan seperti melaksanakan tax goes to school, high
school tax roadshow hingga berbagai kegiatan lainnya yang dekat dengan pelajar,
bahkan untuk perguruan tinggi DJP membentuk wadah Tax Centre. Namun
kegiatan ini dinilai belum terlalu berhasil karena sifatnya yang hanya temporary
dan tidak massif. Atas dasar tersebut kegiatan menyadarkan pajak
mulai dibangun dengan tahap awal mengenalkannya kepada para pelajar sedari
kecil. Langkah tersebut dimulai dengan mencanangkan pajak dalam materi
kurikulum dengan menggunakan konsep layaknya apa yang telah dilakukan
terhadap pendidikan anti korupsi dan pengetahuan pengurangan risiko bencana
yang selama ini telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan.
Pada praktiknya usulan memasukkan pajak dalam kurikulum
diawali dengan menyelaraskan peran pajak sebagai bagian dari empat pilar
kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Mungkin langkah awal dan paling bijak
ditawarkan dengan menyisipkan pajak sebagai bagian dari mata pelajaran
Kewarganegaraan yang saat ini diajarkan dari mulai jenjang pendidikan sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas di Indonesia.
Pajak yang merupakan salah satu unsur empat pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara sangat cocok untuk diterapkan pada pelajaran ini.
Pertimbangan lainnya pengenalan pajak lewat pendidikan kewarganegaraan juga
telah sesuai dengan materi bab per bab yang selama ini diajarkan. Misalnya
unsur perpajakan bisa dimasukkan dalam bab cinta tanah air, bela negara hingga
tanggung jawab sebab kewajiban pajak yang telah dituangkan dalam UUD 1945 yang
juga menjadi dasar utama pembelajaran pendidikan kewarganegaraan telah sesuai
untuk diterapkan.
Fleksibilitas Pajak dalam Pendidikan
Namun, penerapan penyertaan pajak dalam kurikulum pendidikan
tahun 2013 tak semudah yang dibayangkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI mungkin mampu menjadi pertimbangan. Hasil
kajian salah satu Universitas tersebut membuktikan bahwa kalangan pelajar
sekolah menengah atas belum sepenuhnya memahami urgensi pemungutan pajak.
Bahkan lebih mencengangkan lagi para pelajar tersebut juga belum sepenuhnya
memahami bahwa penerimaan pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat umum
termasuk manfaat tidak langsung yang dapat dimanfaatkan oleh para pelajar
sendiri. Kalau sudah begini bagaimana meyakinkan pajak mulai pelajar sekolah
dasar jika pelajar sekolah menengah atas yang secara pendidikan sudah lebih
paham substansi perpajakan sendiri ternyata belum sepenuhnya paham.
Untuk menyadarkan pajak inilah yang perlu ada pembahasan
lebih rinci. Kecenderungan sistem pengajaran di Indonesia selama ini lebih
banyak mengandalkan kepada aspek pengetahuan atau pemahaman saja atau kognitif
tanpa ada aspek afektif atas pelajaran tersebut. Hingga bangku sekolah menengah
atas kita dicekoki berbagai pelajaran yang ternyata membuat kita hanya terkesan
memahami tapi tidak mampu mempraktikkannya. Misalnya saja pelajaran
kewarganegaraan yang substansinya bermuara pada UUD 1945, Pancasila, Bhinneka
Tunggal Ika hingga Negara Kesatuan Indonesia telah diajarkan sejak bangku
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas bahkan diajarkan pada semester awal
di beberapa pendidikan tinggi tetapi faktanya masih ada saja kegiatan
pengingkaran terhadap empat pilar berkebangsaan dan bernegara tersebut. Masih
ada makar yang dilakukan di berbagai daerah hingga tindak korupsi yang
mendustai jiwa cinta tanah air. Apakah penerapan pajak juga ingin seperti ini
yang hanya manis dalam teorinya tetapi tak ada aksi di lapangannya.
Inilah yang harus lebih dipikirkan lagi dalam menyertakan
substansi pajak dalam pendidikan. Fleksibilitas pajak masih perlu
dipertanyakan. Materi pajak yang bisa dikatakan sangat banyak dan berkembang
sesuai kegiatan ekonomi membutuhkan update yang terus menerus. Kekakuan
dalam sistem pendidikan kita tentunya menolak update ini karena kegiatan
pembaruan kurikulum bukanlah kerja tahunan dan coba-coba saja sehingga mudah
untuk diutak atik. Belum lagi dengan dilema kemampuan tenaga pengajar yang bisa
dikatakan belum memiliki pemahaman dan kompetensi di bidang perpajakan.
Fleksibilitas materi perpajakan pun harus menyesuaikan dengan kakunya sistem
pendidikan ini yang menjadi perkerjaan rumah besar dalam menyertakan pajak pada
kurikulum. Kalau pun wacana menerapkan pajak sebagai suplemen dalam pendidikan
kewarganegaraan mungkin untuk kalangan pemula seperti anak sekolah dasar cukup
berhasil pada tahap pemahaman dan pengenalan. Nah, masalahnya yang jauh lebih
penting dan sedang dituju adalah terkait kesadarannya. Setalah paham dan
mengenal maka kesadaranlah yang dituju
Memacu Tak Sekedar Memburu
Permasalahan-permasalahan inilah yang perlu terlebih dahulu
dipikirkan pada saat menuangkan ide menyertakan pajak dalam kurikulum. Mulai
dari model materi yang akan diberikan hingga penerapannya dalam dunia nyata
turut menjadi pertimbangan. Harus terlebih dahulu ada assestment yang
jelas terkait materi perpajakan yang akan diajarkan dalam kurikulum sehingga
nantinya pajak yang diajarkan bukan hanya menjadi ilmu yang akrab sebagai teori
tapi tak terpraktikkan dalam dunia nyata seperti kebanyakan pelajaran yang
diterapkan selama ini.
Selain itu penyertaan pajak dalam kurikulum juga turut
mempertimbangkan hasil nyatanya di lapangan. Pajak yang kerap didengungkan
sebagai pembiayaan dalam pembangunan ternyata tak terlalu mengena pada sisi
pelajar. Buktinya bisa terlihat dari hasil kajian seperti yang telah dibahas di
atas. Bahkan untuk mengetahui kemana dana perpajakan saja pelajar sekolah
menengah atas tidak tahu. Disinilah materi perpajakan perlu lebih dikaji lagi.
Secara ilmu pengetahuan bisa dikatakan ilmu pajak sebagai
ilmu alat yang dapat diukur layaknya matematika. Ilmu tersebut pun dapat diukur
layaknya matematika yang juga punya rumus dan dampaknya. Begitu juga dengan
pajak, pajak bukanlah ilmu normatif tetapi dapat dirasakan secara langsung.
Misalnya penerapan pajak yang baik mengakibatkan pembangunan yang sejahtera dan
kemakmuran rakyat. Nah, inilah yang tidak dirasakan oleh masyarakat selama ini.
Banyak yang belum paham dikemanakan pemanfaatan uang pajaknya bahkan lebih
parah lagi banyak yang tak sadar sebenarnya telah membayar pajak.
Seandainya benar-benar ingin menyertakan pajak dalam
kurikulum terlebih dahulu harus mampu memacu pajak itu lebih dekat kepada
masayarakat. Cara memacunya dengan membuktikan bahwa hasil pembangunan seperti
jembatan, sekolah, jalan, hingga berbagai fasilitas lainnya dibiayai oleh
pajak. Seharusnya ada semisal tagline yang memberitahukan bahwa
pembangunan fasilitas ini sepenuhnya dibiayai oleh pajak. Tentunya cara ini
dilakukan dengan membangun kemitraan terlebih dahulu dengan berbagai
kementerian yang berwenang. Kalau sudah begini, kegiatan memacu masyarakat
sadar pajak akan lebih mudah. Pemahaman pajak sebagai pelajaran yang sebenarnya
dekat dengan setiap masyarakat lebih mudah digambarkan dengan memberi contoh
buktinya di lapangan bukan hanya sekedar memberi teori materi saja.
Selain itu pertimbangan untuk pembuatan materi perpajakan
juga harus memikirkan kompetensi tenaga pengajar. Tenaga pengajar yang lebih
dekat dengan pajak daerah sudah mulai diperkenalkan dengan pajak pusat seperti
pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Misalnya dengan memberikan
formulir 1721 A1 dan A2 untuk pelaporan SPT Tahunan yang ternyata saat
ini belum sepenuhnya diketahui pemanfaatannya oleh tenaga pengajar bahkan masih
banyak tenaga pengajar yang belum pernah sekali pun memperolehnya. Selain itu
mulai diperkenalkan juga sanksi hukum atas tidak melapor tersebut. Untuk tugas
ini giliran penyuluhan pajak yang harus digiatkan. Mulai dari guru yang menjadi
pondasi dasar dalam pendidikan harus dikuatkan. Jangan sampai ada guru yang
masih miskin pengetahuan pajaknya sehingga tak mampu membaginya dengan para
pelajarnya.
Bukti di lapangan sudah ada, fondasi guru sudah kuat langkah
selanjutnya yang tak kalah penting adalah menentukan konsep dasarnya
perpajakannya ini akan dibawa kemana. Jika awalnya kegiatan penyertaan pajak
dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pajak selanjutnya yang
perlu dipikirkan bagaimana membuat mereka untuk mau membayar pajak. Jangan
hanya memburu kesadaran masyarakat sedari dini tanpa ada pemicunya kelak.
Lagi-lagi jangan sampai terjadi ilmu pajak hanya paham dan ahli dalam teori
saja tetapi dapat mempraktikkannya.
Mengakomodasi itu semua ada beberapa langkah yang dapat
dilakukan terlebih dahulu antara lain dengan membangun sebuah konsep pelajaran
perpajakan yang mempertimbangkan kemampuan guru dan pelajar dalam menyerap
pengetahuan perpajakan secara menyeluruh, perlu ada pertimbangan kelemahan dan
kekuatan dalam penyusunan materi perpajakan yang akan dibuat dan bagaimana
memberikan materi tersebut secara menyenangkan dan sederhana sehingga jangan
sampai penambahan materi perpajakan nantinya justru dianggap hanya sebagai
materi formalitas yang diujikan lewat sistem evaluasi ujian tanpa mampu
menghasilkan pelajar yang sadar pajak di kemudian hari. Semoga ada harapan
untuk menyiapkan sebuah materi yang sederhana dan mampu mengakomodasi itu semua
sehingga materi perpajakan dalam kurikulum lebih mudah untuk didesiminasikan
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan
cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
Sumber :
www.dirjenpajak.go.id